12. Perempuan Pertama

4.5K 409 30
                                    

"Nambah, Mas?"

"Cukup."

"Nggak enak ya?"

"Enak, Ra. Kenapa sih tanya terus? Biar dapat hadiah payung cantik?"

Tawa perempuan itu langsung memenuhi ruang dapur. "Habisnya kamu nggak mau nambah."

"Kamu ngambilinnya udah sepiring penuh. Bagus aku habisin. Biasanya nggak sampai segitu." Tamma menenggak habis air putihnya sebelum kembali bersuara, "Gantian kamu yang sarapan. Itu masih banyak?"

"Sudah hampir habis"

"Sini, biar aku yang lanjutin."

Ammara menyerahkan Ansel dan mangkuk buburnya pada Tamma. Sementara itu, Ammara sibuk mencuci piring kotor dan membereskan dapur. Hari ini ia mengurus rumahnya sendiri karena ARTnya izin ada acara keluarga.

Langkah Ammara terhenti di samping pintu yang menghubungkan antara dapur dan taman belakang rumah. Sabtu pagi yang terasa berbeda. Untuk yang pertama kalinya Ammara menyaksikan senyum Tamma yang tanpa beban. Hanya karena sebuah panggilan video call yang lelaki itu tengah lakukan bersama istri pertamanya. Tentu saja Ammara ikut bahagia, mengingat hubungan kedua pasangan tersebut yang sempat bersitegang dan akhirnya waktu sendirilah yang bisa memperbaiki.

Selagi Ansel ada yang mengurus, Ammara ingin menggunakan waktunya untuk merawat diri. Sudah hampir dua minggu ia melewatkan Body Scrub favoritnya yang ia beli secara online dari negara tetangga.

Begitulah, nyeri itu masih sering mengusik benaknya saat menatap penampakan tubuhnya yang dipenuhi bekas luka sayatan di depan cermin. Terlalu banyak hingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali seperti sedia kala, meski ia sudah melakukan pengobatan rutin dengan dokter spesialis terbaik sekalipun. Ammara merasa tidak lagi memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dari tubuhnya sebagai seorang wanita. Dress sabrina yang dulu jadi favoritnya, mampu mengekspos pundaknya yang seksi kini beralih jadi sweater rajut lengan panjang yang menutupi leher.

Pernah sesekali Tamma menegurnya, "Malang memang dingin, Ra. Tapi kalau siang-siang gini kamu pakai sweater tebal gitu apa nggak gerah?"

Ammara memilih abai. Ia masih waras, untuk tidak perlu menjelaskan bagian-bagian mana dari tubuhnya yang tidak lagi sedap dipandang mata. Ia tidak tahu harus senang atau sedih, faktanya sampai detik ini Tamma tidak pernah memintanya menjadi seorang istri yang utuh. Lelaki itu hanya datang untuk menggantikan figur Ayah yang tidak bisa Ansel dapatkan dari Ayah kadungnya.

"Ra, kok tumben masih pagi Ansel udah tidur, oh ... sori!"

Pintu kamarnya sudah tertutup lagi, tapi suara tangisan bayi menyusul nyaring. Ammara yang masih kaget dan baru tersadar segera menyambar daster untuk membungkus tubuhnya yang sedetik lalu tampil tanpa busana. Ia merutuki ketololannya yang lupa mengunci pintu kamar. Dan tidak biasanya juga Tamma memasuki area pribadinya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Ammara mendesah pelan seraya melangkah keluar kamar dengan perasaan segan. Tangis Ansel tidak terdengar lagi, ternyata bocah itu sudah kembali terlelap di gendongan Ayahnya.

"Sini biar aku taruh di boks." Ibu satu anak itu buru-buru mengambil alih bayinya dan kembali masuk kamar. Ia tidak ingin kabur dari Tamma, tapi kejadian barusan jelas-jelas membuatnya canggung.

Ammara salah jika mengira Tamma akan membiarkannya begitu saja. Belum sampai lima menit ia menghembuskan napas lega, suara lelaki itu yang memintanya untuk keluar terdengar dari balik pintu. Jantung Ammara terasa akan lepas.

Lelaki itu langsung menarik lengan Ammara untuk mengikutinya masuk ke kamar utama yang biasa digunakan Tamma untuk tidur saat menginap di rumah ini. Mereka sekarang sama-sama duduk di atas tempat tidur. Ammara menunduk, tidak tahan dengan tatapan lelaki di depannya.

"Nggak dikasih obat lain selain salep?" Rupanya Tamma langsung to the point.

"Dilaser," jawab Ammara. Dari awal ia meminta Tamma untuk tidak ikut campur dengan urusannya bersama dokter spesialis. Beruntung lelaki itu tidak keberatan meski notabene berstatus suami.

"Diapain itu?" tanya Tamma sedikit menuntut. "Kok masih ...."

"Kan butuh waktu, Mas!" potong Ammara. Ia memutuskan menggunakan teknik laser karena terbukti efektif dalam mengempiskan keloid dan tidak terlalu meninggalkan warna kemerahan pada bekas keloid. Teknik ini juga dinilai lebih aman dan tidak terlalu menyakitkan. Meski metode laser tergolong mahal dan diperlukan beberapa sesi hingga mencapai hasil yang diinginkan.

"Aku mau lihat," ujar Tamma tiba-tiba, membuat perempuan di depannya langsung melotot.

"Nggak!" Kedua lengan Ammara reflek memeluk diri. "Nggak boleh!"

Saat Tamma menggeser duduknya semakin dekat, Ammara mundur menjauh.

"Aku mau lihat, Ra. Cuma mau lihat aja."

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang