Seisi ruangan yang gelap itu dipenuhi oleh gema beat beserta suara ketikan yang lumayan keras. Jemari pria berusia 26 tahun itu sibuk berdansa di atas mekanik, sesekali memindahkan jemarinya ke atas mouse. Ia menyusun track terbarunya dengan tergesa-gesa, sebelum perasaan yang amat menyakitkan ini hilang.
Namjoon meneguk alkohol yang berada di atas meja kerjanya, berharap ia dapat melupakan segalanya untuk sesaat. Dia merasa tak dapat mengampuni dirinya karena telah membiarkan monster di dalam hatinya meraung di depan anaknya sendiri. Memori masa lalu yang tak ingin ia ingat mulai kembali. Dia berusaha menekannya dalam-dalam, membiarkan bola penuh dengan kesengsaraan makin menggumpal. Pada akhirnya, ia tak kuasa menahan seluruh perasaan bercampur dari pikiran-pikirannya ini. Likuid yang makin banyak volumenya itu tidak cukup untuk mengisi hati yang sudah retak layaknya gelas yang membocorkan apapun yang ia tampung.
"Aku gak bisa rawat anak itu lagi. Jadwalku terlalu ketat."
Namjoon juga ingin melihatnya sekali lagi: kesinambungan antara dirinya, Wheein, dan buah hati mereka. Sebanyak apapun pergulatan yang dulunya dimiliki bersama Wheein, semuanya disanggupi oleh sang lelaki. Ia amat mencintai Wheein. Akan tetapi, jika mencintainya berarti harus meninggalkan Taehyung di tangan orang asing, tanpa kasih sayang orang tuanya, ia lebih baik berjuang sendirian. Namjoon-lah yang tahu lebih dari siapapun, seberapa pentingnya cinta yang diberikan orang tua, agar kelak, ia tidak perlu lari ke alkohol atau apapun hal buruk yang mampu menekan emosinya.
Ia ingin menangis, namun air matanya tak sanggup keluar.
Ia ingin marah, namun ia tak bisa menghancurkan segalanya seperti dulu lagi.
Ia ingin mengampuni dirinya, namun ucapan kasarnya kepada Taehyung terus berputar di dalam kepalanya seperti kaset rusak.
Kring...
Getaran dari HP-nya mengalihkan pusat perhatiannya. Nomor yang tidak dikenal memanggilnya. Jujur, ia tidak ingin siapapun mengganggunya. Semoga saja bukan orang yang berniat menipunya.
Tombol hijau ia pencet. "Halo, dengan Namjun," ucap Namjoon.
"Hai, Namjoon. Aku ada berita buruk untukmu. Bayar dulu tiga juta won!"
Bentakan dari seberang telepon sontak membuat mata Namjoon terbelalak. "Hah? Maksudnyea?" tanyanya.
"Anakmu masuk rumah sakit! Aku gak mampu bayar uang rumah sakitnya, tiga juta won lah perjam."
"Ah... Uhuk! BWAHAHAHAH!" Dada Namjoon yang sempat sesak karena kesedihan, langsung lega dari tawanya yang kencang. "Manada nak zakeeet begitu dizuruh bayar three wuon! Wuakakak! Rumah zakit abwaan idu?"
"Ya, habis kamu ini, main nitip anak sendiri sama orang asing aja! Sudah gitu gak minta nomor HP-nya lagi! Kamu gak kenal aku tapi percayain aja anaknya sama aku. Gak aku kasih pelayanan gratis pokoknya!"
"Oh, Jin-hyooong." Namjoon berpindah tempat ke sofa yang lebih luas untuk menyantaikan kedua kakinya. "Ya ya, zadi agu hwadus bwar burafah unduk hasa bebiziding?"
"Hah?" Jin berteriak. "Kamu ngomong apa? Gak jelas."
"Hasa bebizidiiiiing," ucap Namjoon manyun.
"Mabuk ya? Hoseok-ah! Kayaknya dia mabuk-"
"Jin-ahjussi lagi nelpon appa ya?!"
Ah, bocah kecil Namjoon.
"Aaaaaaa, Taetae mau ngomong sama appa!!!"
"Ih, nggak boleh! Jin-ahjussi mau raup uang appa kamu dulu! Eh- Eh!!!"
Namjoon tidak mampu mendengar apa-apa di seberang telepon, namun mendengar ocehan Jin yang berjalan sementara waktu membuat hatinya yang runyam menjadi sedikit lebih tenang. Seluruh suara jahat yang menindas pikirannya terhapuskan oleh suara lembut sang pemanggil telepon. Penampakan yang samar berubah menjadi gelap, dan suara yang ia dengar berubah menjadi gumam tak jelas.
***
Daun-daun menjadi kecoklatan, gugur dari ranting mengikuti liuk angin. Namjoon menemukan dirinya berada di tengah-tengah kota Seoul, tepatnya di lokasi yang jauh dari permukiman, berjalan sendirian melewati kota menggunakan seragam putih dan menenteng backpack berisi laptop. Headset berwarna putih menjuntai, memutarkan lagu-lagu lama yang ia putar dengan religius.
Dalam perjalanannya menuju ke suatu tempat—yang juga ia tidak ketahui—ia melihat sekelompok anak SMA serta beberapa karyawan. Ada yang menepakkan Bumi tanpa tekanan apapun. Ada juga yang kejar-kejaran sambil tertawa. Kemudian, ada seorang Namjoon yang berjalan sendiri dan menikmati pemandangan sekitarnya.
"Ken, ih!"
Matanya tertuju pada sepasang lelaki. Rambut mereka cenderung mirip; rambut berwarna kecoklatan, dengan bentuk seperti mangkok, namun tidak mangkok-mangkok amat. Mungkin pengaruh struktur wajah mereka? Yang satu, dengan wajah yang lebih panjang, memukul pundak satunya dengan sedikit keras, meninggalkan kekesalan sekaligus pipi yang merona. Yang satunya hanya tertawa, jari-jari lentiknya mengusap wajah lelaki sebelumnya dengan amat lembut.
Dalam batin Namjoon, mungkin mereka lebih dari sekedar teman. Sepertinya, mereka saling menikmati pandangan satu sama lain.
Itu tidak berlangsung lama, ketika lelaki yang mengusap wajah temannya berpaling dan menatap Namjoon dengan tajam.
Skenario seketika terurai seperti badai yang menghancurkan pemandangan. Daun-daun berguguran dan ranting, juga trotoar yang dilewati Namjoon, tergantikan oleh ruang hampa. Di dalam ruang hampa tersebut, sorotan cahaya menampilkan pemandangan seorang remaja. Perawakannya tidak terlalu besar, namun kedua matanya yang besar digabung dengan hidungnya yang mancung menarik perhatian sang duda muda. Remaja itu melangkah ke depan, menampilkan wujud lelaki yang ia lihat sebelumnya. Bagaikan elang, kedua mata Namjoon ia tatap, lalu tangannya meraih wajah Namjoon yang masih memproses skenario ini.
Sepatah dua kata terucap tanpa suara. Namjoon tahu betul, bahwa yang harus ia dengarkan ini teramat penting.
Namun, tanpa jeda, tempat itu menjadi gelap kembali.
- - - - - - - -
udah 2024 aja, selamat tahun baru!
aku lagi relapse, dan kepikiran untuk nulis cerita ini lagi, karena aku suka sekali ya trope domestic seperti ini. semoga teman-teman pembaca semua sehat-sehat selalu ya. seperti biasa, aku akan slow update banget, jadi don't expect much ya. terimakasih sudah setia sama FF satu ini!
YOU ARE READING
dads meet | namjin (slow update)
Fanfictionketika dua duda bertemu dan perlahan melengkapi satu sama lain. . . . (28/04/2017)