dua: jin

987 116 7
                                    

"Ahjussi...?"

Beberapa mobil dan motor terus lewat, dan Jin kala itu sedang menikmati lagu dalam playlist Spotify-nya di halte. Dia tak tahu entah kemana dia ingin pergi, tapi yang pasti dia duduk menunggu bus yang akan membawanya ke suatu tempat. Tepat di sebelahnya ada seorang anak kecil, yang sepertinya baru ingin pergi ke sekolah.

"Iya?" tanya Jin.

Ia menatap lagi anak kecil itu dengan teliti. Rambutnya coklat muda, dan matanya besar, mengikuti bentuk hidungnya yang mengingatkannya akan tomat. Betapa imutnya ketika ia sadar dengan kehadiran tahi lalat kecil di hidungnya. Manis sekali, pikirnya.

"Kita jalan bareng yuk, ahjussi!" ucap si anak kecil. Jin bingung mengapa anak itu seketika hendak ikut dengan Jin.

"Tapi ahjussi harus naik bus," balas Jin, tersenyum. Anak tersebut hanya menghela nafas.

"Kalau gitu aku ikut ahjussi pergi.

"Gak bisa, nak. Orangtuamu pasti nunggu kamu."

"Nggak! Aku tetap ikut ahjussi!"

"Orangtuamu di mana? Ahjussi antar ke sana aja."

"Biarkan aku ikut dengan ahjussi! Tolong!"

Teriakan anak kecil itu membuat kepala Jin pening. Mengapa dari berbagai hal dia teringat akan dia?

'Bawa dia, Jinnie.'

"Hah?"

Ah.

Lagi-lagi sekuens mimpi itu datang. Mengapa rasanya begitu ...nyata dan mencekam?

Tak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini Jin sering bermimpi. Biasanya ketika ia tidur, ia tak melakukan apa-apa. Akhir-akhir ini juga emosi Jin lebih sering naik turun, terutama setelah bangun tidur. Ia sadar bahwa Jungkook masih tertidur pulas dalam pelukannya, membuatnya mengusap kepala anak satu-satunya itu. Dengan lengannya ia menutup kedua matanya, masih tak percaya akan apa yang terjadi saat dia tidur.

Berapa kali ia harus merasakan hatinya tersayat begitu mendengar suara itu lagi? Dalam setiap mimpinya yang amat sureal, suara dia selalu ada, seakan-akan dalam kepala Jin sudah terpasang sebuah speaker yang memainkan lagu yang sama setiap harinya. Ia hendak menangis, tapi ia harus tegar. Dia harus bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Masih ada sesosok malaikat kecil yang harus ia lindungi dan tuntun di dekapannya.

"Papa capek," gumam Jin. "Jungkook, ayo bangun..."

Sang duda bersyukur ada makhluk imut yang rada rewel ini bersama dia. Melihatnya membuka kedua kelopak matanya, lalu menempelkan kedua tangan mungilnya pada wajah Jin yang kusam. Ada beberapa saat ia mengepal tangannya dan membentang kedua tangannya, lalu mengusap matanya yang layu. Pipinya yang bulat tak mau lepas dari dada Jin, dan saat-saat kecil seperti ini sering sekali memunculkan senyuman kecil dari bibir tebalnya.

Seperti biasa, Jin harus pergi bekerja, jadi setelah bersiap-siap, ia pergi dengan mobilnya menuju rumah saudara iparnya, Lee Junghwan. Tak mungkin Jin dapat menjaga Jungkook ketika ia sedang sibuk. Toh, ini juga sesuatu yang rutin dilakukan, bahkan ketika Ken masih berada di sisinya.

Bukanlah Jungkook jika ia tidak langsung membuka kedua tangannya saat ia melihat wajah pamannya. Jin tertawa kecil melihat tingkah laku anaknya ini. Junghwan langsung datang menggendong keponakannya yang ia sungguh sayangi itu. "Jungkookie kangen Sandeul-ahjussi?" tanyanya lembut.

"Syukurlah ada kamu. Kalau gak aku bisa kalang kabut cariin babysitter-nya Jungkook."

"You can count on me Jin-ah! ...Eh. Tunggu." Junghwan mengecek ponselnya dan seketika cemberut.

"Kenapa?"

"Aku lupa kasihtau. Aku gak bakal bisa jaga Jungkookie selama bulan ini."

"Hah?!" Jin terkejut. "Kamu satu-satunya orang yang bisa babysit Jungkook loh."

"Mianhae!" Junghwan memoncongkan bibir. "Aku nanti mau konser mulai minggu depan, jadi, yah..."

"Nggak bisa di-postpone apa?," ucap Jin geram. "Setidaknya tunggulah sampai aku ketemu babysitter Jungkook yang lain!"

"Masalahnya jadwal konser kita kena delay terus... Neomu neomu mianhae Jin-ah!"

Jin menutup kedua matanya, menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Inilah yang dia kurang suka dari saudara ipar yang kerap ia panggil Sandeul itu. Hidup sebagai idola memang sulit dan menyibukkan, tapi bukan berarti ia bisa melupakan hal yang lebih penting! Jin juga lelah menegur Sandeul berkali-kali, terutama perihal kesibukannya.

"Ya udah, urusin dulu Jungkook. Aku mau kerja," cetus Jin, yang diikuti dengan senyum lebar Sandeul yang menimang bayi Jungkook ke dalam rumah.

Jin tidak memanaskan mobilnya dahulu setelah masuk ke dalam. 2 menit berlalu dan ia masih belum pergi dari rumah Sandeul. Ia keluar, melihat penampilan rumah tempat Ken tinggal sedari kecil. Jin biasa paling semangat bekerja di pagi hari, namun entah mengapa hari itu serasa amat berat, seakan-akan beban yang ia pikul bertambah secara mendadak dan signifikan.

Menyibukkan dirinya dengan menulis angka-angka di atas jurnal tetap tidak menghilangkan perasaan hatinya yang kurang enak sejak dari pagi. Sekilas di depan mata ia terlihat sangat fokus dengan kalkulasi keuntungan dan kerugian, namun dalam pikirannya terdapat belasan hal, terutama menyangkut mimpinya, perasaannya dan babysitting Jungkook.

Oke, Jungkook memang bisa di-handle kawannya, Baekhyun. Tapi memang dia bisa? Jinyoung dan Jimin memang sama-sama kalem, tapi sifat 'ibu'nya muncul ketika ada buah hatinya itu, terutama si bungsu. Berbeda dengan anak-anak lain, Jungkook sudah punya jadwal makan, tidur, belajar (dengan bermain), mandi, dan lain-lain. Semenit saja rutinitas itu terganggu, dan Jungkook tak akan bisa tenang bahkan hingga keesokan harinya. Jin tak mau anaknya yang tersayang itu sampai kenapa-napa.

Bagaimana kalau dititip di kantor saja? Woh! No no no. Jin tau persis seberapa buruknya staf asing mengatur anak-anak yang dititipkan di tempat penitipan anak di kantor. Dia bahkan ingat siapa saja orang-orangnya: BamBam, Vernon, Joshua, dan Yixing. Pokoknya tidak. Jin tidak akan pernah menemukan anaknya dengan- oke. Mungkin Yixing bisa dipercaya. Tapi akhir-akhir ini staf divisi publishing itu tak bisa diganggu. Sisanya... Haduh. Jin yakin Jungkook cuma bakal main 24/7. No no lah. Toh laki-laki 'biasa' takkan mengerti cara mengurus anak.

Ah, tentang babysitting Jungkook bisa nantian aja. Sekarang, mimpi. Mimpi tadi terasa agak blurry, tapi Jin yakin dia mendengar suara Ken untuk kesekian kalinya dan dia sudah muak. Alam bawah sadarnya senang sekali memainkan perasaannya! Tapi benar, dia bingung. Dia pernah melihat anak kecil yang dia mimpikan itu. Dia merasa pernah melihat anak kecil itu sekali dalam hidupnya. Suaranya, bentuk rambutnya yang seperti mangkuk, wajahnya yang tampan dan tahi lalat yang hinggap di hidungnya: dia kenal. Dia kenal siapa anak laki-laki yang memaksa diri untuk ikut bersamanya. Di mana mereka pernah bertemu, ya?

Kemudian, perasaannya. Siapa tak sedih ketika orang yang ia sayang meninggalkannya begitu saja? Jin kira deritanya itu bisa hilang, namun bukannya semakin hilang, kerinduannya akan Ken semakin menjadi. Perasaan itu makin mencekam hatinya yang keras tetapi lembut. Akhir-akhir ini Jin lebih sering mengambil jeda ketika melakukan pekerjaannya, tak tau kepada siapa ia harus berbicara tentang hal ini.

Air hujan menetes deras, dan jarum jam terus berjalan. Sehelai kertas yang sebelumnya menempel pada buku kas harus menerima nasib masuk ke dalam kantong plastik tempat kertas-kertas lain diremukkan tanpa ampun.

Sama seperti hatinya yang kini tak tahu ingin ke mana.

- - - - - - - -

Okeh ini gak jelas- istg ini bakal kuedit kalau udah selesai bukunya. mungkin.

aku udah janji kan bakal dobel apdet minggu ini? kita bakal take it slow deh. by the way, dari deskripsi kurasa kalian langsung kenal siapa yang masuk dalam mimpi jin di awal chapter ini ;) use your senses, ARMY, karena cerita ini bakal meninggalkan sedikit hint. tapi tetap aja relax yap.

see you guys next friday!

dads meet | namjin (slow update)Where stories live. Discover now