Laras
Namaku Larasati Mega Dahayu. Panggil saja Laras. Usiaku 22 tahun sekarang. Aku dan orangtua berasal dari Bogor, tetapi sejak aku SD kami pindah rumah dan tinggal di Jakarta.
Di kehidupan yang serba sulit ini, aku tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. Jadi apa pun, asal halal dan mampu, aku mau melakukannya. Tidak perlu yang gajinya besar sekali, yang penting cukup untuk memenuhi kebutuhan orangtua dan adikku yang sejak dulu pun sudah hidup sederhana.
Lulus SMA, aku sempat berkuliah meski hanya sampai tiga semester. Tidak bisa melanjutkannya lagi karena tak punya biaya dan butuh membantu orangtua secara ekonomi.
Ayahku sering sakit sejak setahun lalu dan tidak bisa lagi bekerja. Ibuku hanya punya bakat membuat kue dan memasak. Maka, yang bisa beliau lakukan sekarang adalah membuat kue dan memasak makanan untuk dijual. Biasanya ditaruh di etalase kaca, lalu dipajang di depan rumah kami supaya menarik perhatian calon-calon pembeli.
Aku punya satu adik perempuan, namanya Adinda, masih SMP. Lagi-lagi, berhubung semua hal di negeri ini semakin mahal, aku mengalah dan berhenti kuliah agar Adinda dapat melanjutkan sekolah.
Cari kerja? Tentunya di ibukota seperti ini, sulit untuk mencari pekerjaan di tempat yang bagus jika hanya bermodalkan ijazah SMA.
Akhirnya...
Di sinilah aku.
Di rumah besar bagai istana yang diidam-idamkan semua orang. Aku bekerja sebagai salah satu dari 20 orang pembantu rumah tangga di rumah yang bisa kubilang mansion ini. Namun baru dua minggu bekerja, kesabaranku rasanya sudah diuji habis-habisan.
Nyonya Irma Soraya, pemilik rumah ini sangat baik padaku. Pada semua pembantunya juga, tapi anaknya... selalu membuatku tak habis pikir.
Namanya Michael. Tuan Muda Michael. Umurnya 25 tahun.
Harusnya dia sudah lulus kuliah 2 tahun yang lalu, tapi sampai sekarang, dia masih belum lulus-lulus. Entah dia bodoh atau malas, tapi sepertinya sih malas. Karena dia mampu memegang dan mengelola salah satu perusahaan tambang Mamanya dengan sangat baik di umur yang masih terbilang muda. Jadi menurutku, tidak mungkin dia bodoh.
Dan dengar-dengar dari pembantu yang lain, banyak yang ingin menjadi 'joki' namun Tuan Michael tidak mau. Biar saja dia belum lulus-lulus, apa masalahnya? Begitu katanya.
Kalau dipikir sih, benar juga. Tanpa lulus kuliah pun karir dan penghasilannya sudah gemilang. Tapi meski terdengar bijak dan baik, tetap saja dia itu menjengkelkan.
Pokoknya Tuan Michael itu.. sombong sampai ke langit, dingin, kasar, dan menyebalkan sampai ubun-ubun. Wajahnya tidak pernah ramah, jarang sekali tersenyum, apalagi tertawa. Padahal dia tampan. Tapi tingkahnya seperti iblis bertanduk yang menyeramkan.
🌠⚡️🌠⚡️🌠
Michael
Menikmati langit jam 1 pagi dengan secangkir kopi susu buatan dapur rumahku. Biasanya wine, champagne, whiskey. Beer kalau sedang iseng, dan air putih kalau sedang jera. Namun belakangan, aku agak malas mengonsumsi alkohol karena tidak memberi pengaruh besar pada pikiranku yang sering kacau. Oh, shdah berbatang-batang rokok pula. Tidak terasa.
Sunyi, aku suka. Hanya ada suara hewan-hewan malam. Jangan berisik! Aku tidak suka. Tapi kadang-kadang, pikiranku sering terbalik juga. Tidak stabil.
Aku pernah punya kucing, jenis british shorthair. Namanya Trixie. Dia betina, gendut, berwarna abu-abu tua dan selalu tidur denganku di atas tempat tidur. Namun Trixie yang gendut dan clingy mati dua tahun yang lalu.
Aku sedih, patah hati, dan tidak berniat untuk memiliki kucing baru. Trixie tidak bisa tergantikan. Sampai sekarang pun aku masih sering merindukan Trixie-ku yang baik dan empuk. Sedikit menyesal sering melarang Trixie untuk berpacaran dengan kucing tetangga yang agak buluk itu. Coba kalau waktu itu aku membolehkan, pasti anak-anak Trixie dan kucing kampung itu akan menemaniku sekarang di saat Trixie telah tidak ada.
Tiba-tiba ponselku berdering. Abby, Abigail, pacarku.
Aku tidak mengangkat supaya dia pikir aku sudah tidur. Padahal, ya belum. Hanya tidur-tiduran saja. Bukan di ranjang, tapi di lantai balkon kamar, sambil menatap bintang-bintang yang banyak.
Bintang-bintang...
Mereka berkilau, cantik, kelihatannya saling berdekatan jika dilihat dari bumi. Namun sebenarnya, jarak sebenarnya, mereka berjauhan, sangat jauh. Dan sebenarnya mereka itu panas, bukannya berkilau.
Dan Bintang... aku jadi rindu Bintang. Tidak, aku selalu rindu Bintang.
Ponselku berdering lagi. Bukan Abby, tapi Kaisar.
"Halo."
"Maaf, Tuan. Saya mengganggu."
"Iya, lumayan mengganggu memang. Tapi gak apa-apa. Gue belum tidur. Kenapa?"
"Ada yang mau nantang Tuan. Saya baru dapat WA."
Aku menyeringai. "Siapa?"
"Jay sama gengnya."
"Bosen banget. Gak ada yang lain?"
"Gak ada, Tuan." Kaisar terdengar sungkan.
"Sumpah, gue bosen banget ngelawan tikus got sama kacung-kacungnya itu terus. Kayak di dunia ini cuma mereka aja manusianya. Bilang, gue gak mau."
"Serius, Tuan?" Aku tidak tahu Kaisar senang atau menyayangkan.
"Gue gak peduli mereka mau bilang gue banci kek, kroco kek. Gue males, gue gak mau."
"Baik, Tuan. Nanti saya sampaikan."
"Hm."
Sudah. Jangan ada yang menganggu lagi. Aku sudah muak sekali. Namun, ponselku berbunyi lagi. Bunyi yang sedikit. Pesan Whatsapp.
Abigail
I can't sleep, honey...
Kamu udah tidur? Aku mau VC
Aku menghela napas. Sudah kubilang, aku sedang berpura-pura sudah tidur darinya, kan?
*
*
*
*
*CATATAN :
Gambar-gambar hanya visualisasi untuk memudahkan penulis berimajinasi. Silakan bayangkan visual orang lain jika tidak berkenan dengan visualisasi yang disediakan^^Cerita ini murni buatan purpleliyy jika ada kesamaan dalam bentuk apa pun, itu hanya sebuah kebetulan^^
Selamat membaca. Jangan lupa vote☆ dan komentar apa saja^^
![](https://img.wattpad.com/cover/269748996-288-k906304.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSTABLE (New Ver)
General FictionTentang Michael yang tampan, sombong, pemarah, kasar, dan kaya. Lalu tentang Laras yang cantik, baik, sabar, lembut, dan miskin. Laras hanya pembantu, sementara Michael adalah majikannya. Sebenarnya, Michael yang kasar hanya seonggok manusia rapuh b...