Texas, Amerika
Seorang pria turun dari mobil jip hitam. Blazernya lusuh penuh debu.
Belum lagi rambut gondrong yang tersapu angin membuatnya terlihat maco. Pria itu menapakan kedua kakinya dengan dada yang membusung.
Kemudian ia meludah ke tanah. Membuang puntung rokok lalu ia injak begitu saja sampai tak ada bara api yang tersisa.
Selanjutnya ia berjalan menyibak sebuah gerbang besar. Bangunan yang ia tempati saat ini adalah gudang.
Fungsinya untuk menyimpan barang-barang seperti pistol, samurai, pedang, granat, bom dan lain sebagainya. Gudang itu adalah gudang utama untuk pendistribusian barang-barang ilegal tersebut.
Pria tadi masuk dan para tukang pukul menyambutnya dengan ramah. Sedang si pria hanya melenggang begitu saja.
Ia menghampiri seorang pria berwajah tampan dengan kulit yang putih. Hidungnya bangir bak perosotan taman kanak-kanak.
"Willis, apa sudah siap?" tanya pria berambut gondrong.
Yang dipanggil Willis menoleh dan menunduk sebagai tanda hormat. Tanpa ragu keduanya berdiri berdampingan.
Sembari menyaksikan seorang pekerja merakit senjata di depan mata. Obrolan mengalir diantara keduanya.
"Sudah, Tauke Richard. Setelah semua siap helikopter akan tiba. Keperluan kita sudah dipacking dengan rapi," jawab Willis dengan sopan.
Ada etika dan tata krama ketika berhadapan dengan sosok Tauke Richard. Tauke adalah panggilan untuk majikan.
Orang yang disegani, dihormati sekaligus ditakuti. Pemegang kekuasaan tingkat satu mafia Korea Selatan, Black Shark.
Black Shark melegenda bahkan sekelas Jop*k saja kalah. Jop*k adalah gangster kelas rengginang bagi Richard.
Didunia ini tak ada yang ia takuti. Kecuali satu, cinta. Richard tak pernah jatuh cinta.
Entah hatinya terbuat dari apa. Hingga rasanya tak ada satu orang pun yang sanggup meluluhhkan hati itu.
Pria yang kasar dan bengis. Sombong dan songong dengan raut wajahnya yang mendukung. Visualnya bak genji atau yakultza asal jepang.
Richard perawakannya tinggi besar seperti raksasa. Tubuh kekar membuatnya ringan tangan.
Banyak kepala yang terpotong di depan mata Willis karena Richard. Bermandikan darah bukan hal dosa, itu sudah biasa.
Membunuh atau dibunuh adalah prinsip hidup Richard.
Sebagai tangan kanan Richard, Willis pun selalu siap dalam situasi apapun. Meski ia harus bertaruh nyawa bukan masalah jika itu untuk mengabdi kepada Tauke Richard.
"Begini, aku tidak mau sampai ada yang tertinggal. Penyerangan ini bukan main-main. Jika pemerintahan Korea Selatan ikut campur kita bisa mati. Aku tanya sekali lagi, berapa banyak senjata yang akan dibawa?" Tauke Richard memijat pelipis. Mencoba berpikir dan mengintimidasi.