5

206 19 0
                                        

"Bagaimanapun akulah keturunan langsung ayahanda Rakai Watu Humalang, akulah satu-satunya putra yang beliau miliki..." Putri mendengar sebuah suara lantang. Dia sedang berada di tengah hutan dan suara itu bisa dipastikan bukan milik para pencari kayu. Rakyat jelata tak akan berani mengaku sebagai keturunan Śrī Mahārāja sebelumnya. Sekali lagi, entah bagaimana, dia bisa tahu Watu Humalang adalah raja sebelum Balitung padahal tak seorangpun pernah memberitahukan padanya. Ada banyak hal memang yang tak dia ketahui mengenai kehidupan di masa ini. Tapi terkadang informasi semacam itu bisa begitu saja muncul di kepalanya seolah telah bertahun-tahun menetap di sana.

Putri menghentikan langkahnya, penasaran dengan pemilik suara itu. Dia jadi lupa dengan niatnya buru-buru kembali ke rumah. Yakin si sumber suara berada di dekatnya, Putri menyibak beberapa sesemakan. Dan di sanalah mereka. Para rakai, keempat pejabat tinggi kerajaan dalam pakaian rakyat jelata, sedang berdiri di bawah sebatang pohon besar. Dedaunan, cabang, serta semak belukar yang mengelilingi pohon itu mampu menutupi tubuh Putri.

Salah satunya, bisa dipastikan, adalah Daksa. Dia berdiri pada posisi yang berlawanan dengan Putri hingga Putri bisa melihat wajahnya dengan jelas. Keempatnya berdiri melingkar. Orang yang paling dekat dengan Putri adalah orang yang berdiri membelakanginya. Dialah satu-satunya orang yang wajahnya tak dapat Putri lihat. Namun setelah memerhatikan wajah tiga orang lainnya, dia memastikan itu adalah Rakai Sirikan.

"Sekitar 90 persen militer kerajaan sudah berpihak pada kita. Tanpa yang 10 persen itupun kita lebih unggul. Sebagian besar Rama (1) dan Rakai juga sudah menyatakan kesediaan mereka mendukung kita. Bisa dipastikan, kakanda, pada tanggal 5 bulan Asuji (2) nanti kau akan berada pada posisimu yang seharusnya."

Daksa tertawa membayangkan tahta yang akan segera ia duduki. Ia sudah memendam hasrat akan tahta itu sejak pernikahan kakak tirinya dengan Balitung. Kini, hasratnya tersebut akan segera terpenuhi.

"Aku berharap kali ini tak akan ada pembatalan. Hampir setahun aku dicekam kekhawatiran karena penundaan rencana kita tahun lalu ditambah lagi wanita itu sedang mengandung. Untunglah anaknya perempuan. Jika saja dia berputra, Balitung bisa dengan mudah mencari-cari alasan menyingkirkan aku. Tapi siapa yang menjamin wanita itu tak akan hamil kembali. Kita tak boleh gagal lagi."

"Hamba jamin, kakanda. Terlebih lagi kali ini Balitung sedang lengah karena kehadiran putri dan istri barunya."

Daksa tertawa puas sekali lagi. Tapi kali ini tawanya terganggu sebuah teriakan kecil.

*

Adakalanya pada suatu waktu yang sama, banyak hal tidak tepat terjadi. Putri mengalaminya sekarang.

Sejak dulu dia paling takut dengan ulat bulu. Entah kenapa musuh bebuyutannya itu malah memilih untuk menemuinya sekarang. Salah satu dari mereka jatuh ke bahunya ketika Putri sedang menguping diam-diam. Dia berteriak seketika, namun segera sadar dan berusaha meredamnya.

Sayangnya dia terlambat. Empat orang itu sudah mendengar teriakannya. Maka mau tak mau Putri harus segera lari dari tempat itu. Tapi kakinya tersandung akar besar yang menonjol milik sebatang pohon entah apa. Putri terjerembab, dan tangan besar Rakai Sirikan sudah terlebih dahulu menangkap bahunya sebelum dia sempat bangkit.

"Ada tikus kecil yang menguping rupanya." Rakai Halu membuka suara.

"Sepertinya aku mengenalmu. Kau pelayan di rumahku, bukan? Jawab budak jelek!" Daksa membentak namun tidak dengan volume suara yang sangat keras. Bagaimanapun dia tak mau orang lain memergokinya di sini.

Putri tak menjawab sepatah katapun, tak melakukan gerak tubuh apapun. Walau sebelumnya sudah tahu bahwa dia tak termasuk dalam standar kecantikan masa ini, tapi panggilan budak jelek itu sangat menyakitkan hati. Putri berusaha keras agar wajahnya menampilkan ekspresi kau-itu-siapa-aku-tidak-peduli-padamu. Namun sepertinya gagal.

Itik Buruk Rupa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang