Sangat gelap. Sejak kapankah dunia menjadi segelap ini? Tapi dia tahu dibalik kegelapan ini akan ada cahaya. Cahaya putih terang. Juga cahaya warna-warni yang berbaur jadi satu. Yang harus dia lakukan hanyalah mengangkat beban berat ini. Dia harus mengangkatnya dan dalam sekejap berjuta cahaya akan menyambutnya.
Putri berusaha dan rasa pening menderanya. Rasa itu selalu ada tiap kali dia mencoba mengangkat beban berat ini. Tapi dia harus tetap berusaha, bukan? Seorang Putri tak pernah menyerah, bukan? Dia tak pernah menyerah saat dia berusaha keras menjadi cantik di tengah orang-orang yang meledeknya gendut. Sekarang dia hanya perlu menunjukkan kegigihan yang sama. Dia pasti bisa.
Akhirnya Putri berhasil mengangkat beban berat terakhir. Dia baru tahu setelahnya bahwa beban berat itu adalah kelopak matanya yang susah dibuka. Seperti yang sudah dia ketahui, cahaya terang menyambutnya. Ditengah cahaya itu dia melihat sosok yang sangat dia kenal. Sosok yang dia akrabi sejak lahir.
"Sayang, kamu sudah sadar!" Suara Mama menunjukkan antusiasme dan kesenangan. "Sebentar Mama panggilkan dokter dan Papa." Wanita itu berlari girang keluar. Melihatnya Putri merasakan secercah perasaan bersalah bagaimana akhir-akhir ini dia sedikit menjauh dari wanita itu padahal waktu dia kecil mereka sangat dekat. Ketika dia ditimpa masalah seperti sekarang, wanita itulah yang berada di barisan terdepan demi menolongnya. Setelah ini, dia harus jauh lebih perhatian pada orang tuanya.
Putri menolehkan kepalanya ke kanan dan menyadari ada sosok lain di ruangan itu selain Mama. Sosok itu masih sama seperti dulu. Tetap dengan wajah chubby dan senyum ramahnya seperti biasa.
"Kamu ini, bisa-bisanya malah gantian sakit." Nada suaranya menunjukkan dia bercanda. "Untung aku udah sehat jadi bisa gantiin kamu. Tahu nggak, setelah acara kosmetik itu, ada acara pemutaran film indie di Yogya. Kita baru dapet undangannya empat hari yang lalu. Tadinya Mbak Uti minta keberadaan kamu di Jogja diperpanjang. Eh nggak tahunya malah kita yang dapet telpon kalo kamu masuk rumah sakit. Akhirnya aku dikirim ke Jogja juga. Tapi tenang aja, semuanya beres." Suara Kinar sangat ramah. Ini pertama kalinya dia merasa tak ingin mencekik Kinar setelah mendengar suaranya. Banyak hal yang berubah sepertinya.
Tiba-tiba Putri teringat. Keningnya. Dia buru-buru merabanya. Bertanya-tanya kira-kira separah apa hantaman gagang keris itu berpengaruh pada otaknya. Ah ya, keris. Dia tadinya berada di masa Balitung. Bagaimana bisa dia berada di sini sekarang bersama Kinar dan Mama?
"Tenang aja. Kata dokter nggak akan berbekas lama kok. Beberapa saat mungkin akan menghitam tapi bisa dengan cepat menghilang. Dan kamu nggak perlu khawatir. Bahkan dengan luka dan perban di kepala-pun, seorang Putri Dyah Paramita akan tetap terlihat cantik."
"Terkadang menjadi cantik hanyalah persoalan terlahir pada zaman dan tempat yang tepat. Aku cantik hanya karena kebetulan orang-orang dari zaman ini menganggap wanita tinggi-kurus-putih itu cantik."
Kinar terkejut. Ucapan semacam itu bukanlah sesuatu yang diharapkan orang-orang akan keluar dari mulut Putri. Dia jadi bertanya-tanya apakah luka dikepala Putri lebih parah dari yang mereka duga.
"Kau tahu dongeng itik buruk rupa? Aku rasa selama ini aku salah menginterpretasikan dongeng itu. Si itik menjadi cantik bukan karena dia berubah menjadi angsa. Dia tetap menjadi dirinya sendiri. Sejak dulunya dia memang angsa. Yang berubah hanya lingkungannya. Seekor angsa tak akan pernah dianggap cantik di lingkungan para bebek, demikian sebaliknya. Begitu juga kita. Setiap tempat dan masa punya standar kecantikan yang berbeda. Manusialah yang membuatnya. Aku jadi bertanya-tanya, memangnya siapa kita hingga kita berhak menentukan seseorang lebih cantik atau tampan dari yang lainnya."
Kinar makin mempertanyakan tingkat keparahan luka di kepala Putri. Omongannya melantur. Baru tersadar dari pingsan tapi malah membicarakan hal-hal semacam dongeng bebek angsa dan kecantikan. Apa pentingnya itu semua?

KAMU SEDANG MEMBACA
Itik Buruk Rupa (TAMAT)
Fiksi Sejarah**part lengkap** Seorang 'puteri' di era modern tak sengaja terlempar Masa Balitung. Di sana ia bisa melihat raja dan ratu, berjalan di istana, bertemu dengan 'pangeran' tampan...namun sayangnya hanya dalam wujud sebagai pelayan rendahan.