24 : Hehe

104 11 9
                                    

Bohong sih.

Gue nggak se-nggak peka itu untuk nggak nyadar sikap Rei yang emang agak spesial ke gue--atau sepenuhnya spesial?

Sejak gue kenal sama cowok yang punya nama lengkap Reiki Sadewa itu, gue menyadari kalau dia itu anti-pake-banget sama manusia berkaki dua dan berjenis kelamin wanita. Entah kenapa setiap ada cewek--yang emang bukan anak-anak kelas gue atau teman Rei--yang nyapa cowok itu, dia cuma nganggukin kepala. Perlakuan dia lebih parah lagi ke cewek-cewek yang secara terang-terangan bersikap sok manis di depan dia. Rei selalu menganggap cewek-cewek itu seolah mereka makhluk halus.

Makanya, gue bisa ambil kesimpulan kalau gue cukup spesial buat Rei.

Otak dan perasaan gue nggak se-cebol yang diungkit anak-anak jahanam itu.

Yakali gue nggak se-peka itu buat lihat sikap Rei yang beda banget kalau berhadapan sama gue--apalagi kalau kita ada di luar lingkup sekolah atau komplek.

Awalnya gue percaya nggak percaya sama asumsi gue kalau Rei, teman sebangku yang laknat banget itu, punya perasaan ke gue. Wajar aja sih, track record-nya dia kan jelek banget di mata gue.

Tapi yang bikin gue jadi yakin banget kalau cowok yang sering membangunkan jiwa kejam di dalam diri gue itu suka sama gue, karena kejadian yang bikin gue ingat banget sampai detik ini.

Waktu itu gue nggak masuk sekolah, demam tinggi--dan gue kurang beruntung banget hari itu, gara-gara guru kimia gue memutuskan untuk ngasih ulangan harian mendadak. Gue makin stress mikir bakal ulangan susulan sendirian, secara hari itu cuma gue yang nggak masuk--dan sampai sekarang gue masih bertanya-tanya kenapa teman-teman jahanam gue terlalu rajin di hari itu. Mama Papa gue lagi di luar kota, sedangkan kakak gue nggak bisa nemenin karena harus gantiin Papa rapat. Terpaksa gue merelakan kakak gue yang kelihatan stress antara mau jagain gue dan pergi ke rapat penting.

Daripada gue makin stress lihat muka kakak gue yang stress gitu.

Gue yang waktu itu lagi rebahan di sofa ruang keluarga sambil dengerin lagu, hampir aja pergi ke alam lain waktu pintu rumah gue diketuk--atau lebih tepatnya digebrak. Pikiran gue udah kemana-mana, takut kalau itu pencuri atau penculik.

Masalahnya, waktu itu lagi jam 9 pagi, jamnya tetangga-tetangga gue lagi nggak ada di rumah. Kalau terjadi sesuatu sama gue, pertolongan nggak bisa datang secepat flash.

Gue baru aja mau telpon kakak gue, waktu suara yang familiar banget kedengeran dari balik pintu.

“SEI! Lo masih sadar gak?! Kalo iya buka pintunya!”

Pelan-pelan gue mendekat ke pintu dan ngintip dari balik jendela. Bener aja. Teman sebangku gue lagi berdiri di balik pintu. Rambutnya berantakan, keringetan, seragam nggak rapi, dan raut wajahnya khawatir banget--hal baru yang gue saksikan di wajah Rei.

Shit! Apa gue dobrak aja--”

Sebelum niat jahat Rei terlaksana, gue buru-buru buka kunci dan narik pintu selebar-lebarnya. Ekspresi Rei berubah jadi kaget, dan gue juga kaget ngelihat motor Rei terparkir gitu aja di pinggir jalan--dengan kunci yang masih terpasang.

“Kunci lo--”

Gue bungkam seketika waktu itu, speechless waktu badan gue tiba-tiba aja terasa makin hangat. Butuh beberapa detik bagi gue untuk sadar kalau Rei lagi meluk gue. Itu pertama dan terakhir kalinya Rei meluk gue.

Thank God lo masih sadar. Gue dikasih tau Artha kalau lo demam tinggi. Gue chat kak Ardo, kak Ardo bilang lo lagi sendiran di rumah. Tadinya kak Ardo mau nemenin lo, tapi gara-gara rapat hari ini penting, kak Ardo terpaksa pergi dan bakal langsung balik habis rapat.”

Teman Sebangku Laknat ✔Where stories live. Discover now