O8. Jagain, katanya.

587 128 103
                                    

Sudah hampir lima menit Giva berdiri di ujung koridor kelas 12. Jika bukan karena terdesak, Giva tak akan mau menginjakkan kaki di sini.

Selain karena jarak gedungnya yang terbilang jauh dari kelasnya, Giva juga malas dijadikan pusat perhatian. Sejak tadi banyak kakak kelas yang menatapnya dengan tatapan aneh dan penuh tanya. Bertanya-tanya kenapa tumben sekali siswa kelas 11 datang ke sini.

Giva berdecak kesal sebab seseorang yang ia cari tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Gadis itu mendesah lelah lalu bersandar pada tembok di sampingnya.

Sementara itu, dari arah berlawanan seorang pemuda berwajah blasteran menyunggingkan senyum ketika melihat Giva. Dia semakin mempercepat langkahnya untuk menghampiri gadis itu.

"Ngapain lo disini?"

"Kak Dhanu mana?" tanya Giva menimbulkan kernyitan di dahi pemuda bernama Mark itu.

"Dhanu? Tumben nyariin."

"Mau nitip gitar," jawab Giva.

Mark langsung paham ketika melihat gitar yang dibawa Giva. Mark diam, mengingat-ingat keberadaan Dhanu. "Dhanu tuh...kayaknya tadi bolos kelas terakhir deh. Gue nggak liat dia di kelas. Mungkin lagi di lapangan basket sama Lucas, Hendra, Diana."

"Kok cuma mereka berempat? Lo nggak ikut?" Giva merasa aneh. Pasalnya kelima orang ini—Mark, Dhanu, Lucas, Hendra, Diana—selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. Sampai-sampai mereka dijuluki F4-nya sekolah. Dan tidak biasanya Mark tidak ikut begini.

Mark terdengar menghela napas. "Lagi tobat. Bentar lagi utbk."

Giva menepuk-nepuk bahu Mark merasa kasihan. "Kasihan. Pasti lo kesusahan banget ya sama mat saintek."

"Iya anjir! Gue mau linjur ambil soshum biar masuk HI, tapi materinya banyak banget. Mau ambil saintek, tapi mat saintek kok makin di perhatiin makin bikin prihatin." Mark hanya bisa mengelus dada lalu menipiskan bibir. Bahkan tatapan mata pemuda itu seperti menunjukkan beban siswa tingkat akhir.

"Yaudah. Nggak usah kuliah. Langsung nikah aja gimana?" saran Giva.

Mata Mark langsung melotot padahal gadis itu hanya bercanda. "Lo aja sana!" balas Mark.

"Hehehe, canda, Markunti," ucap Giva malah meringis.

Jam di tangan Mark sudah menunjukkan pukul 4 sore. Pemuda itu segera mengakhiri percakapannya karena bimbel yang diikutinya akan dimulai sebentar lagi. "Gue duluan ya. Mau bimbel dulu," pamit Mark.

Sebelum Mark terlanjur pergi, Giva menarik tas pemuda itu. Untungnya dia bisa menahan keseimbangan. Kalau tidak, mungkin Mark sudah kejengkang sekarang.

Mark berbalik dengan menahan emosi. "Apa?!"

"Santai aja dong!" seru Giva.

"Gue mau nanya...." Giva menggantungkan ucapannya. Agaknya ragu untuk bertanya. "Kak Dhanu galak nggak sih?"

Mark belum menjawab, masih membiarkan adik kelasnya ini lanjut bicara.

"Kok gue perhatiin alisnya tebel terus kalau natap orang itu nggak santai banget. Mana rahangnya tegas banget anjir! Itu satu keluarga bentukannya begitu semua ya?!! Produknya aja begitu, pabriknya kayak gimana dah," lanjut Giva.

"Lo bilang Dhanu galak?" tanya Mark dilanjutkan dengan tawa kecilnya yang mengudara.

Buat jadi Giva bingung dimana letak lucunya. Tapi Giva tak terlalu mempermasalahkan, karena pada dasarnya Mark memang cowok receh. Gampang ketawa. Semut tabrakan aja dia ketawain.

"Wah! Lo belum tau aja si Dhanu kalau acting kek gimana. Tuh anak jebolan sinetron tau gak?! Dulu sebenarnya mau debut, tapi gegara balik ke Bandung ya nggak jadi debut," lanjut Mark.

We're the SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang