Karena hari ini adalah hari Jumat, maka waktu istirahat kedua digunakan untuk kegiatan sholat Jumat. Begitu bel istirahat berbunyi, para murid mulai berhamburan keluar kelas. Kebanyakan pada nyebar ke seluruh penjuru sekolah, terutama ke kantin. Kalau yang alim sih biasanya langsung ke masjid.
"Giv, ikut jajan yuk!" ajak Lia.
Giva baru akan menjawab iya, tapi jadi mengurungkan niat ketika melihat Gavin yang tadinya sedang berbicara dengan Gisel di depan kelas, kini jadi berjalan menghampiri meja pemuda itu. Gadis itu mengatupkan bibir kemudian membukanya lagi. "Lo duluan aja deh," katanya pada Lia.
Lia mengangguk kemudian beranjak pergi.
Setelah Lia pergi, suasana kelas mulai sepi. Menyisakan Giva dan Gavin yang masih berada di dalam kelas.
Panggil gak yaa?
Giva bingung mau manggil Gavin apa nggak. Kenapa sih manggil Gavin doang berasa manggil Pak Soman alias kepala sekolah. Kenapa jadi ciut begini nyali Giva. Padahal biasanya di antara anak barbara, Giva paling bar-bar loh.
"Vin!" panggil Giva, meskipun merasa ragu. Takut tapi tetap percaya diri.
Meja Gavin yang bersebelahan dengan meja Giva membuat pemuda itu bisa mendengar dengan jelas panggilan Giva. Dia menoleh sebentar, kemudian kembali sibuk membereskan isi tasnya. "Uangnya nggak usah diganti," katanya sembari memasukkan buku-buku ke dalam tasnya.
"Lah?..."
Uang apa si?
"Uang seragam."
"Ooooohhhhh," kata Giva ber-oh panjang.
"Gue bukan mau ngomongin itu btw," lanjut Giva.
Gavin yang berdiri membuatnya harus menundukkan kepalanya saat berbicara dengan Giva yang sedang duduk. Sepasang mata pemuda itu menatap lekat wajah lawan bicaranya. "Terus?"
Giva yang ditatap seperti itu jadi lupa mau ngomong apa. Gavin tuh cuma diem sambil ngeliatin dia, tapi rasanya kenapa jantungnya seperti jumpalitan tak karuan.
Para setan tolong kerja samanya, tolong diam.
Setelah sadar, Giva mengerjapkan mata lalu menjawab, "Gue sekelompok sama Wildan."
"Oh," balas pemuda itu singkat.
Giva merutuk malu karena sepertinya dia kelihatan salah tingkah.
Gadis itu kira kata 'oh' adalah akhir percakapan mereka, nyatanya tidak. Gavin masih mengajaknya bicara. "Lo gabung sama gue kan," kata dia, memastikan.
Melihat kepala Giva yang mengangguk membuat Gavin melanjutkan bicaranya, "mau dikerjain kapan?"
"Lagunya apa?" tanya Giva.
"Terserah lo aja."
Giva hanya bisa menipiskan bibir. Gadis itu mengangguk kecil. "Okay, nanti gue cari."
"Eh, mau pake alat musik apa?" tanya Giva lagi.
Jawaban Gavin masih sama seperti sebelumnya. "Terserah lo aja."
Sepertinya Giva harus sabar menghadapi cowok ini. KATANYA UDAH BERUBAH? MANA HAH KOK SAMA AJA? KOK JADI IRIT NGOMONG GINI? PERASAAN TADI NGOMONG SAMA GISEL BISA RAMAH SAMPE KETAWA-KETAWA DEH.
"Vin," panggil Giva mencoba membuat pemuda itu menjawab dengan serius.
"Gitar aja," jawabnya.
"Oke. Pake gitar lo ya?"
"Senarnya putus. Gitar lo?"
"Dipake adek gue buat uprak," jawab Giva jujur. Iya bener, gitarnya lagi dipakai Riki buat ujian praktek. Maklum kelas 9.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're the Same
Novela Juvenil[yejeno]. "Mau segimanapun gue ngejar, tokoh utama akan selalu dapat tempat lebih. Pada akhirnya dia yang akan menang, walau saat ini dia kalah. Dan sayangnya gue bukan tokoh utama itu. Gue ada, supaya tokoh utama bergerak maju untuk dapat apa yang...