Tak disangka-sangka hujan tiba-tiba turun mengguyur Bandung, tepat di saat Gavin baru saja mengendarai motornya keluar dari mall.
Hujan yang semakin deras ditambah lagi dengan seorang gadis yang duduk diboncengannya dan sebuah gitar baru saja dibeli, mengharuskan Gavin untuk mencari tempat meneduh. Akan tetapi di sepanjang jalan yang telah dilewatinya, Gavin sama sekali belum menemukan tempat strategis untuk meneduh.
Pemuda itu baru menghentikan motornya di depan sebuah halte, yang jaraknya sudah 1 km dari mall. Tentu saja dengan jarak sejauh itu, mereka pasti sudah kehujanan di jalan.
"Neduh dulu," kata Gavin sekaligus memberi instruksi pada Giva untuk turun dari motornya.
Giva turun dari motor sambil melepas helm yang melindungi kepalanya.
Kemudian berjalan dengan cepat menghampiri kursi halte dan duduk di sana. Gavin pun melakukan hal yang sama.Tak seperti kebanyakan orang yang saling membicarakan banyak hal ketika sedang meneduh, kedua remaja itu malah diam saja. Menikmati rintik hujan yang berjatuhan dalam keheningan.
Bukannya kehabisan topik, tapi keduanya benar-benar tak tahu harus membicarakan apa.
Giva tak tahan dengan suasana keheningan saat ini walaupun pada kenyataannya dia lebih suka berada dalam kesendirian. Tapi berada di dekat pemuda ini membuat Giva merasa seperti harus menghidupkan suasana.
Lalu perhatian Giva tersita oleh beberapa gedung-gedung besar di seberang halte. Gadis itu merasa tak asing dengan pemandangan di depannya ini.
Giva melontarkan pertanyaan pada pemuda di sampingnya, "Gedung di depan itu SMP kita dulu bukan sih?"
Gavin mengikuti arah pandang Giva. Terlihat beberapa gedung besar
yang dikelilingi oleh pagar-pagar tinggi dengan sebuah gapura bertuliskan SMP Nusa Bhakti."Iya," jawab Gavin seraya menatap wajah gadis di sampingnya itu. Hanya beberapa detik saja, lalu Gavin kembali mengalihkan pandangannya ke arah sekolah lamanya. Sembari tersenyum samar tanpa Giva sadari.
"Hmmm...banyak yang berubah ya..." Giva menggantungkan ucapannya.
Kalau dipikirkan, sudah hampir dua tahun lamanya semenjak kelulusan, mereka tak pernah mengunjungi sekolah itu jika tak berkepentingan.
Giva bahkan sempat merasa asing dengan sekolah ini karena banyak perubahan di dalamnya. Namun kenangan dari sekolah itu, tetap tak akan pernah terasa asing baginya.
"Gedungnya makin tinggi," sambung Gavin.
Giva memperhatikan sekali lagi. Benar! Gedung utama di sekolah lamanya semakin tinggi sekarang. Ditambah lagi warna cat tembok bangunannya yang sudah diganti dari warna putih jadi warna hijau. Membuat sekolah tersebut tampak lebih asri. Hijau-hijau semua.
"Kok sekilas kayak lebih mirip sekolah kehutanan ya daripada SMP. Ijo-ijo semua anjir," ucap Giva. Sekolah lamanya memang tampak asri. Tetapi kalau diperhatikan lagi, semua unsur bangunan termasuk lapangan sekolah itu berwarna hijau semua. Tampak senada dengan berbagai pepohonan yang ditanam di lingkungan sekolah.
"Pasti itu suruhan Pak Jaja. Beliau kan suka ganti warna cat bangunan sekolah sesuai mood," balas Gavin.
Giva tertawa renyah. "Masih mending sih bukan warna pink. Kan kata Naresh, bapaknya lagi suka warna pink merah hati. Emang aneh itu bapaknya si Naresh."
"Tapi seenggaknya ada kemajuan sih. Ring basketnya ganti. Nggak kayak zaman kita dulu. Udah karatan, tinggal tiangnya doang lagi," lanjut Giva.
Gavin bersedekap kemudian menyandarkan punggungnya ke tembok halte. Pemuda itu berkata, "nggak usah heran. Bangunan sekolah mah kebanyakan gitu. Pas belum lulus keliatan buluk, pas udah lulus keliatan bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
We're the Same
Novela Juvenil[yejeno]. "Mau segimanapun gue ngejar, tokoh utama akan selalu dapat tempat lebih. Pada akhirnya dia yang akan menang, walau saat ini dia kalah. Dan sayangnya gue bukan tokoh utama itu. Gue ada, supaya tokoh utama bergerak maju untuk dapat apa yang...