Dateu

180 23 6
                                    

Flashback on.

Pria itu terus mengamati kaca spion mobilnya, berjaga-jaga jika saja suruhan wanita gila itu akan mengikutinya. Ia menoleh ke back seat SUVnya. Di sana ada kantong jenazah yang seharusnya ia kremasi 45 menit yang lalu. Secepat mungkin ia menginjak pedal gas agar cepat sampai ke rumah. Perasaannya campur aduk begitu berhasil memasuki garasi.

Dengan hati-hati ia menggendong sosok terbalut wadah plastik itu keluar dari mobil. Membawanya ke dalam dan menidurkannya di ranjang. Tak lama kemudian ia menarik resleting dan mengeluarkan sosok pucat yang sampai saat ini matanya masih juga terpejam. Setelah melipat kantong jenazah, ia berlutut di pinggir tempat tidur. Memegangi tangan pria di hadapannya, berniat untuk berbagi rasa hangat.

Entah bagaimana ia akan menceritakan hal yang sebenarnya. Ia menatap ke arah jam dinding, seharusnya obat itu sudah berhenti bekerja. Ia menunduk, masih dengan jemari yang bertaut. Walaupun ia bukan orang yang religius. Setidaknya saat ini ia rasa kalau dirinya perlu berdoa.

Tak lama kemudian, ia dapat merasakan denyut nadi.

"Uhuk! Hhh ... hhh ... hhh."

"Hey, hey, hey. That's okay. That's okay. I am here."

Ia memeluk pria yang baru bangun itu dengan erat. Tanpa terasa pelupuk matanya basah. Lega sekaligus bingung.

"What happened?" Laki-laki itu menatapnya, masih agak bingung dengan situasinya saat ini.

"Nanti kita omongin ya. Sekarang kita harus pergi."

"Kemana?"

"New York."

***

Dua tahun kemudian. 

Ia terus memijat tengkuknya yang pegal. Lebih dari 16 jam ia berada di ruang operasi. Pasien yang baru saja ia tangani mengalami luka bakar yang cukup parah. Salah satu dokter senior menepuk bahunya sekaligus memuji. Setelah membersihkan diri dan memakai pakaian bersih. Ia menatap jarum jam dinding yang berada di lobby. Sudah hampir jam dua pagi.

"Hey, Charming."

Suara itu membuatnya menoleh dan hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu. Pria berambut hitam dengan rahang tegas berjalan dari sebrang ruangan.

"Why are you here?" Tanyanya meraih sisi wajah kanan sang kekasih yang entah bagaimana berada di tempat kerjanya di pagi buta seperti ini.

"Kamu pasti capek abis operasi. Daripada kamu kenapa-napa nanti di jalan. Mending aku jemput. Ya nggak?" Balasnya menyunggingkan sebuah senyum yang menggemaskan.

Senyum yang jarang sekali muncul tapi tetap membuat hatinya menghangat. Senyum yang tak pernah berubah saat mereka bertemu pertama kali.

Keduanya mendekatkan wajah dan melumat bibir satu sama lain. Beberapa perawat berbisik. Tapi itu tidak mengganggu mereka.

"Eungh. Let's go home." Kekasihnya memegangi tangan Charming yang sudah mencengkram pinggulnya.

Tahun pertama menetap di New York bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Ia harus menunggu beberapa bulan untuk mendapat rumah sakit yang cocok untuk bekerja. Apalagi kekasihnya sama sekali tidak bisa berbahasa asing. Mau tak mau ia harus membiayai kursusnya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan baru. Bahkan selama setahun mereka tak banyak bicara. Masih sama-sama asing dan terpukul atas kejadian malam itu. Kejadian dimana mereka berdua diculik dan Charming harus menyuntik mati pria yang kini menjadi pasangannya.

Namun ia punya rencana lain. Ia hanya menyuntikkan obat dosis tinggi yang mampu menghentikan jantung selama beberapa jam. Maka dari itu di malam ia harus berpura-pura membawa pasien yang dinyatakan meninggal. Ia tidak mengantarkannya ke tempat kremasi. Tapi, membawanya pulang ke rumah.

Friends Verse IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang