First Memory

180 24 9
                                    

Killian mengaduh saat pantatnya terlebih dahulu mendarat. Ia hampir saja mengumpati Thanatos (Dewa Kematian) yang baru saja menyentuh keningnya dan membuatnya bertelportasi secara mendadak. Ia masih mengamati tempat yang tampak tidak asing itu. Ia sempat oleng saat seseorang tiba-tiba muncul dihadapannya. Sebentar, itu tampak seperti dirinya. Apakah ini memorinya?

Flashback

Ia menghela nafas, dadanya terasa sesak dan tangannya agak gemetar ketika menyentuh gagang pintu. Setelah memasuki tempat itu, tubuhnya merosot ke lantai dan ia mulai terisak. Entah pemandangan itu indah atau tidak. Tapi, ia tengah memeluk kedua lututnya di antara bunga-bunga yang tengah mekar dengan cantiknya. Ia meneriakkan sebuah nama dengan pilu.

Setelah dua puluh menit berlalu, ia bangkit. Melepas coat panjang yang ia kenakan dan menggantungnya bersamaan dengan tas. Kemudian ia menjepit poni pendeknya sebelum membasuh wajahnya di wastafel. Terdengar bunyi kling yang berbunyi otomatis saat pintu terbuka. Dengan cepat ia mengeringkan wajah dan merapikan rambut untuk menengok keadaan diluar. Ia merapikan apron yang ia pakai.

Ia tersenyum, begitu juga seseorang yang berdiri di ambang pintu. Tapi, tamu itu tak datang sendirian. Ada bayi kecil dalam gendongannya. Kiki menjerit, dan tertawa kecil.

"Ini siapa?" Kiki menggapai jemari kecil itu dengan gemas.

".... Min."

"Minnie, uri minnie. Kyeopta. Boleh gendong?"

Pria itu mengangguk, dan menyerahkan putranya pada Kiki.

"Potong rambut?" Ayah Minnie menyentuh tengkuk Kiki.

"Hehe. Surprise."

"Abis nangis ya?" Laki-laki itu menekan ujung hidung Kiki yang berwarna merah.

"Nangis kan nggak dilarang. Bweek."

"Kiki jangan ngajarin Minnie begitu."

Keduanya lalu tertawa. Sementara Kiki sibuk dengan bayi. Pria itu mendapati sebuah album foto yang berada didekat meja kasir dan tersenyum.  Di sana ada foto dua orang yang sangat disayangi oleh sang florist. Kemudian ia menepuk-nepuk kepala Kiki dengan lembut.

"I am okay." Kiki mendongakkan wajah.

"I know. Eh iya, mungkin pas gue kerja, gue bakalan nitipin Minnie sama lo. Boleh? Tenang, ada gajinya."

Kiki tertawa begitu mendengarnya.

"Kan Minnie juga anak gue. Napa juga musti keberatan? Gue seneng malah, jadi ada temennya?" Kiki mengecupi pipi gembul Minnie.

"Emang nggak ganggu? Kan lo sambil kerja."

"He'll work with me. Udah sih, bawel banget. Minnie yang sabar ya punya dada kek gini ya?" Ia kembali mengecupi wajah si kecil.

Tiba-tiba saja scene itu mengabur dan hilang, meninggalkan Killian dalam kehampaan. Entah kini ia harus tertawa atau menangis. Ini memori pertamanya, indah, sedih sekaligus membingungkan. Seseorang meremas bahunya pelan. Ia mengerjapkan kedua mata beberapa kali dan membalikkan badan.

"Are you okay?" Tanya David membawa dua gelas minuman dingin.

Killian menerima salah satunya, tadinya ia ingin sekali berkata tidak. Tapi, tampaknya raut wajahnya menunjukkan hal sebaliknya. Dave duduk disamping Killian, lalu melingkarkan tangannya ke bahu grim reaper mungil itu dan membiarkannya bersandar. Setelah itu terdengar isak tangis pelan. Dan si pria besar hanya diam tanpa menuntut penjelasan apapun.

***

Memori

"Uda sampe?"

"Kalo belom mana mungkin aku telphon."

Friends Verse IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang