Pemurnian Iblis

95 7 1
                                    


Pagi itu Edward yang tengah berdiri di gerbang Afterlife, tampak gelisah. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Killian. Semalam dia memberanikan diri meminum salah satu vial berisikan memori masa lalunya dan dia menemukan sahabatnya itu di sana.

Saat dia mendengar bunyi portal tertutup, pria itu segera mengangkat wajahnya.

"Kiki!" panggilnya dengan senyum sumringah.

"Edward," balas Kiki melepaskan tangan David dan berlari ke arah Edward.

Mereka memeluk satu sama lain dengan erat, bahkan keduanya hampir menangis.

Edward menangkup kedua pipi Killian dan terkekeh.

"Walopun sekarang lo cowok, tapi lo masih cantik kayak dulu. Ya ampun, Kiki," ujar pria itu kembali memeluk Killian.

David tersenyum menatap keduanya.

"Pak," sapa Edward, membuat David dan Killian tergelak.

"Saya bukan bos kamu lagi, jadi enggak perlu panggil saya bapak," balas David kemudian.

"Enakan manggil bapak, ah," sahut Edward lagi.

Mereka bertiga tertawa saat menatap satu lama lain. Hati mereka menghangat begitu ingat hubungan mereka semasa hidup dulu.

"Pala lo sakit, nggak? Mau gue bikinin teh?" tanya Killian, masih merangkul pinggang Edward.

Edward menggeleng dan tersenyum. "Gue mau nyari Alex."

Killian menatap David, kemudian mereka mengangguk. Tak lama kemudian Edward menghilang dari hadapan mereka.

***

Alex sendiri masih sibuk mengayunkan pedangnya untuk menebas arwah-arwah bandel yang tidak mau dibawa ke afterlife. Akhir-akhir ini, memang marak dukun jahat yang memanfaatkan jiwa-jiwa yang tidak bisa mati dengan tenang demi kepentingan sendiri. Alex baru saja berpikir kalau pekerjaannya akan selesai setelah menusuk arwah terakhir. Nyatanya, saat dia sibuk mengatur napasnya yang terengah-engah, aroma amis yang kuat kian mendekat ke arahnya.

"Bau iblis," ujar Alex menggosok ujung hidungnya beberapa kali.

Dia mengangkat pedangnya, memejamkan mata dan mengusap bilahnya dari bagian gagang ke bagian ujung, hingga pedang itu berlumuran darah. Tak butuh waktu lama, pedang itu bersinar merah keunguan. Untuk memperkuat senjata malaikat maut, mereka harus menggunakan darah mereka. Alex membuka matanya, lalu melesat ke depan untuk menerobos tubuh iblis raksasa di hadapannya. Sayangnya, belum sempat ujung pedangnya mengenai sasaran, tubuhnya terlempar hingga menabrak dinding bangunan tua.

Ada iblis lain di sana. Entah bagaimana Alex akan menyelesaikan misinya kalau kekuatannya sendiri hanya cukup untuk melawan satu iblis saja. Dia meludahkan darah dari mulutnya, lalu mencoba berdiri. Kemudian melesat lagi untuk bertarung dengan iblis-iblis di hadapannya.

"Ugh!" Alex menggeram saat salah satu iblis mencakar lengannya. Dia melompat ke tempat lebih tinggi, kemudian menghunus pedangnya dari ketinggian tepat di pusat energi iblis yang ada di tengah kepalanya.

Boom!

Bangunan di sayap barat itu seketika runtuh ketika pilarnya hancur. Ya, lagi-lagi Alex terlempar karena hantaman iblis.  Kali ini dia tidak bisa langsung bangun karena tubuhnya terkubur dalam puing-puing.

Tap, tap, tap.

Terdengar suara langkah kaki mendekat ke tengah ruangan. Pemuda berjaket baseball dengan logo salah satu universitas itu mendongak, menatap iblis raksasa di hadapannya. Kedua tangannya membuat gerakan memutar di udara sehingga muncul perisai biru cemerlang. Dia menutup mata dan merapal semacam mantra , kemudian perisai itu mengenai iblis dengan pedang yang masih menancap di kepalanya.

"Pemurnian iblis," bisik Alex yang berhasil keluar dari reruntuhan dengan susah payah.

"Gawat," ujarnya saat sadar kalau iblis satunya lagi berniat menyerang pemuda yang tengah sibuk di seberang sana.

Dia pun membalikkan telapak tangannya. Seketika pedang alam baka kembali ke genggamannya. Saat dia melewati tengah ruangan, matanya terbelalak. Pemuda itu, bagaimana dia bisa melakukan pemurnian iblis? Dia kan belum mati?

Ah, tapi itu bukan hal terpenting saat ini. Alex kembali memusatkan energinya untuk membantai iblis raksasa yang tersisa.

Tepat di menit ketujuh, iblis itu sudah berubah menjadi debu bintang gemerlapan yang terbang seiring tiupan angin.

"Berhasil. Hmmm, berhasil!" teriak pemuda itu dengan mata berbinar-binar.

Brak!!!!

Suara tembok retak itu menghentikan sorakannya. Dia buru-buru merapal mantra pemurnian iblis begitu melihat iblis raksasa di sebrangnya terluka berat.

Alex yang sudah babak belur sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri. Tubuhnya pun ambruk ke lantai dan dia kehilangan kesadarannya. Ada satu kata yang dia ucapkan sebelum pandangannya menggelap, "Xavion."

***

Edward masih mondar-mandir di ruangan tempat kekasihnya dirawat. Kejadian satu jam lalu, cukup membuatnya terkejut. Killian meneleponnya dan bilang kalau Kennard membawa Alex yang terluka berat ke aula penyembuhan afterlife. Sebenarnya tidak ada yang perlu dia khawatirkan, para malaikat maut tidak akan kehilangan nyawanya meskipun terluka parah. Hanya saja mereka baru bisa pulih setelah dirawat dengan perawatan khusus afterlife.

Dia menoleh ke  tempat duduk yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Pria kekar itu masih ada di sana. Hanya saja Edward tidak akrab dengannya, jadi dia tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan.

"Lo, eh kamu," ujarnya setelah agak lama ragu.

Kennard terkekeh mendengar kata-kata kikuk Edward. "Santai aja, pake bahasa yang biasanya lo gunain pas ngomong sama temen."

"Ehehehe, tadi lo tugas sama Alex?" tanya Edward perlahan berjalan menuju tempat duduk yang bersebrangan dengan Kennard.

Kennard tampak ragu, dia juga terlihat bingung. Apa bisa dia menjelaskan pada Edward kalau dia merasakan getaran aneh seperti layaknya panggilan kepadanya? Dia baru saja selesai mandi ketika bisikan "tolong" terdengar di telinganya. Bahkan tadi dia sempat terlihat seperti orang bodoh, karena mengacungkan penggorengan sambil menebak-nebak suara siapa yang baru saja dia dengar. Mungkinkah ada arwah yang nyasar ke tempat tinggalnya?

"Siapa?"

"Xavion."

"Xavion?"

"Di sini ada grim reaper, kayaknya mau mati."

Kennard sempat ingin tertawa mendengar perkataan barusan. Omong-omong nama itu sepertinya tidak asing.

"Kamu di mana?"

Setelah mendapat koordinat, Kennard segera turun ke alam fana dan pergi ke tempat yang ditunjukkan. Dia melihat Xavion masih memangku kepala Alex yang tidak bergerak.

"Apa dia bakalan mati?" tanya Xavion khawatir.

"Dia uda mati kok."

"Hah?"

"Kamu kira malaikat maut itu nggak mati dulu sebelum jadi malaikat maut?"

"Kok, malah ngelawak sih Om Kennard? Ini temennya buruan ditolongin," protes Xavion.

"Iya, iya. Bawel. Kamu bisa pulang sendiri kan?" tanya Kennard memapah tubuh lunglai Alex.

Xavion yang sedang menggaruk tangannya mengangguk.

"Tangan kamu kenapa?" tanya Kennard khawatir. Tangan Xavion itu berwarna kemerahan, tampak seperti melepuh.

"Gatel, mau dapet duit kayaknya," sahut Xavion sambil menampakkan cengiran kuda.

"Dih, malah ngelawak balik. Yaudah, kamu pulang sana."

Xavion mengangguk. Dia mengambil ransel yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kennard terbahak saat Xavion terbatuk karena debu-debu di tasnya beterbangan ke arah wajahnya saat dia berusaha membersihkan tasnya. Setelah anak itu pergi, dia kembali ke afterlife bersama Alex.

Friends Verse IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang