Kennard & Daniel Part II

68 6 2
                                    


Keadaan semakin memburuk ketika kepolisian memecat Wonho karena menghilang begitu saja tanpa ada pemberitahuan. Wonho sempat mengalami depresi karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Untungnya, Changkyun masih mempunyai tabungan yang belum pernah dia pakai sama sekali sejak ibunya menitipkannya pada keluarga Wonho. Dia juga bekerja sebagai apoteker di farmasi yang tidak jauh dari rumahnya.

Tiap hari Changkyun memasak untuk Wonho, memandikannya, menyisir rambutnya dan mengajaknya bicara. Meskipun Wonho sama sekali tak meresponnya. Kematian orang tuanya, membunuh orang tak bersalah dan kehilangan pekerjaan membuatnya benar-benar kehilangan jati dirinya. Tak ada yang bisa Changkyun lakukan. Karena para penderita depresi hanya bisa sembuh dengan kemauannya sendiri. Dia hanya bisa menunggu Wonho untuk bangkit dari jurang keterpurukannya.

Sore itu dia pulang sambil menenteng kue tart. Ya, hari ini ulang tahun Wonho. Jadi dia bermaksud merayakannya secara kecil-kecilan di rumah.

"Hyung, aku pulang," kata Changkyun mengganti sepatunya dengan slipper. Dia segera pergi ke dapur, mencuci tangannya dan memakai apron sebelum bersiap untuk memasak.

Beberapa menit kemudian, dia memasuki kamar Wonho sambil membawa kue tart, semangkuk sup rumput laut dan bibimbap kesukaan Wonho.

Wonho masih duduk di ranjangnya sambil memandangi luar jendela yang gelap. Changkyun segera menyalakan lampu dan duduk di samping Wonho. "Hyung, selamat ulang tahun. Semoga panjang umur, sehat dan bahagia selalu. Amin. Aku bantu tiup lilinnya ya," kata Changkyun sambil meniup api-api kecil itu hingga padam.

Dia tersenyum sambil memasang kain bersih di sekitar leher Wonho. "Aku buat sup rumput laut lho. Yah, meskipun nggak seenak buatan tante Woo Ri. Seenggaknya aku uda usaha. Hehe. Ayo cicipin," ujar Changkyun menyuapi Wonho dengan sesendok sup rumput laut buatannya.

Sebenarnya dia ingin menangis saat melihat kuah sup itu mengalir turun dari bibir hingga ke leher Wonho. Dia tahu Wonho masih menolak untuk makan dan berniat untuk terus begitu sampai dia kehilangan nyawanya. Tapi dia terus berusaha menyuapi Wonho, hingga tangan itu memegangi pergelangan tangannya. Changkyun terkejut saat Wonho menatapnya. "Rasanya kayak buatan eomma."

Mata Changkyun berkaca-kaca, kemudian dia mengangguk dan tersenyum. "Aku belajar masak sama Tante Woo Ri. Cuma hyung nggak pernah mau makan."

Wonho kemudian mengambil alih mangkok dari tangan Changkyun dan mulai makan sendiri. Rasa masakan yang mirip dengan buatan ibunya itu membuat tangisnya meledak. Changkyun yang merasa lega sekaligus bahagia memeluk Wonho erat-erat. Kini mereka berdua sama-sama menangis.

***

Sejak hari itu, Wonho mulai memberanikan diri keluar dari kamar. Dia pun perlahan-lahan mulai menemukan semangat hidupnya lagi. Suatu saat, dia menerima telepon dari rumah sakit yang memberi tahunya kalau Changkyun dirawat. Dia baru sadar, sudah berapa lama Changkyun tak cuci darah?

"Aku nggak papa," kata Changkyun menggenggam tangan Wonho.

"Nggak papa gimana? Selama belum dapet donor, kamu harus terus cuci darah," kata Wonho tampak frustrasi.

"Aku tau," balas Changkyun dengan sebuah senyuman. Seolah tidak ada masalah besar.

***

Beberapa bulan kemudian, Wonho mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai barista di sebuah kafe. Haruskah dia meminjama dana dari bank untuk pengobatan Changkyun? Dia lihat keadaan Changkyun kian hari kian memburuk dan penghasilan mereka sama-sama tidak bisa menutupi biaya pengobatan. Wonho juga sempat merasa curiga kenapa donor yang dijanjikan beberapa minggu lalu, tiba-tiba saja dialihkan kepada orang lain. Jelas-jelas Changkyun ada di daftar pertama penerima donor.

Wonho memegangi kepalanya yang terasa pening. Kemudian dia memejamkan kedua matanya dan mengatur napasnya perlahan agar bisa kembali tenang. "Selamat datang di Bae Cafe," sapanya begitu mendengar bel otomatis berbunyi begitu pintu kafe terbuka.

Ketika dia bertemu dengan orang yang baru datang, lidahnya terasa begitu kelu dan dia kehilangan semua kata-katanya.

"Hey," sapa pria itu padanya.

Dia masih tak sanggup berkata-kata di depan monitor kasir. Rasanya dia ingin menguap, menyublim, apa pun yang membuatnya hilang seketika. Jantungnya semakin berdegup kencang saat pria itu menghampirinya sambil tersenyum. Sorot matanya begitu sendu, seakan berjuta rindu tertampung di dalamnya.

"Rekomenin aku minuman sama makanan favorit di sini dong. Kamu jaga sendirian? Kalo bisa gantian sama temen kamu, aku bisa minta waktu buat ngobrol sama kamu bentar nggak? Atau aku tunggu kamu pulang kerja aja?"

"Itu...."

"Aku maksa banget ya? Haha. Sorry, abis aku uda lama nggak liat kamu. Kamu pulang jam berapa?"

"Setengah jam lagi. Kamu tunggu aja di meja deket jendela prancis sana. Nanti aku bawain salted caramel latte sama cheese cake bluberrynya ke tempat kamu," tunjuk Wonho berusaha sesantai mungkin. Meskipun aslinya kakinya sudah seperti jelly.

Pria di hadapannya mengangguk, lalu pergi ke tempat yang Wonho tunjuk dengan patuh.

***

Back to Present

"Ki, Killian!" panggil David sambil menepuk-nepuk pipi mochi Killian.

"Aduh, sakit!" protes Killian.

"Eh, maaf-maaf," balas David.

Killian memijat-mijat pelipisnya, kemudian menatap Kennard dan Daniel. "Kalian ngobrol gih berdua," ujarnya dengan mata menyipit.

Daniel dan Kennard menatap satu sama lain, lalu keluar dari Tea House.

"Pake ini coba, biasanya ngefek buat ngilangin vertigo," kata Xavion menusukkan inhaler lemongrassnya ke salah satu lubang hidung Killian. Hal itu sukses membuat orang-orang yang melihatnya terbahak.

***

"Gue baru mau nyariin lo di dunia manusia, kali aja masih idup. Eh ternyata malah udah nyusul gue kesini," kata Kennard memecah keheningan karena Daniel tak kunjung bicara.

"Maaf," balas Daniel lirih.

"Buat apa?" tanya Kennard.

"Harusnya hyung nggak ambil job itu buat ngebiayain cuci darah gue. Harusnya hyung nggak ngebunuh orang yang nggak bersalah demi gue. Harusnya hyung nggak berangkat hari itu, biar hyung nggak mati karena kecelakaan," balas Daniel tak sanggup menahan air mata serta rasa bersalahnya.

Kennard tersenyum, meraih tengkuk Daniel dan memeluknya erat-erat. "Takdir orang kan nggak ada yang tahu Dan. Kalo gue nggak mati karena kecelakaan itu, kayaknya gue uda lama mati karena depresi. Ini semua bukan salah lo. Jadi, berhenti nyalahin diri lo sendiri hanya karena kematian gue. Uda sewajarnya kan kalo keluarga selalu berusaha yang terbaik buat anggotanya yang lain?"

Daniel menangis semakin keras, hanya saja suaranya teredam dalam eratnya pelukan Kennard.

Mereka yang berada dalam tea house dan melihat pemandangan itu hanya bisa memandangi mereka dalam diam. Sementara Xavion yang tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, memilih untuk menikmati boba milk tea yang baru saja Killian berikan sebagai ganti tehnya yang tadi Daniel tumpahkan saat berubah wujud.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Friends Verse IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang