[Satu]

556 94 55
                                    

Sepuluh tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepuluh tahun yang lalu...

Aku menopang pipi pada lipatan tangan di atas meja. Mendengarkan ocehan teman-teman kelasku yang sejujurnya kelewat berisik di pagi hari, bahkan bel masuk pun masih belum berbunyi. Saling menimpali omongan satu sama lain, lelocon yang terlempar lewat udara, dan gelak tawa mengisi pagi hariku. Aku diam saja. Oh, jangan salah sangka, aku bukan si pendiam dalam kelas, bukan pula si satu anak yang selalu diabaikan, sama sekali bukan. Pagi ini suasana hatiku sedikit buruk, karena jatah bulanan yang membuat perutku terasa diperas. Aku bertaruh, sebentar lagi ada yang akan bertanya kenapa aku tak bersuara.

"Arunika! Jangan sok pendiem kamu."

Tuh kan, pikirku. Baru saja dipikirkan, sudah terjadi saja. Aku melirik seorang gadis cantik yang duduk di deret bangku di depanku. Namanya, Nayanika. Salah satu sahabatku sejak hari pertama aku masuk sekolah menengah atas, hingga kini kami menjadi siswa kelas sebelas. Ekspresinya jenaka dan jahil, tentu bukan hanya dia, mungkin seisi kelas juga heran mengapa aku diam saja, sementara aku selalu berada dalam hirarki sebagai si selalu tertawa. "Jangan sekarang, Nay. Perasaanku lagi ngga enak."

"Enakin dong."

Yang bersuara itu Ilham namanya, Ilham Bagaskara. Si pemuda kelebihan hormon bahagia yang memegang status sebagai kakak terbesar, ketua kelas, dan komedian dalam lingkaran besar anggota kelas sebelas IPA dua.

Aku hanya meliriknya tanpa mengubah posisi sama sekali. Namun aku mendecih, dan memeletkan lidah ku padanya. "Diem deh, aku lagi emosian, nih."

"Ih, cantik-cantik, galak." Ilham lagi-lagi bersuara. Dia berpindah dari kursinya di deret paling depan, menarik bangku dari seberang tempat ku, dan mendekat - menopang dagu di atas mejaku. "Merengut aja. Kalau ada apa-apa, cerita sama abang. Kenapa? Digangguin Kak Arya lagi?"

Di hari-hari lainnya, aku mungkin tak ambil pusing, ikut tertawa, dan menimpal candaan di sana sini. Tapi pagi ini, aku serius ketika ku bilang suasana hatiku buruk. Apalagi mendengar nama itu, si kakak kelas yang katanya menaksirku habis-habisan, dan terus merecokiku sejak awal semester. Bukan lagi rahasia, dan itu membuatku risih setengah mati.

"Bukan. Apasih? Sana-sana."
Ilham tergelak ketika seisi kelas mulai meledek ku, selalu begitu tiap topik Arya disebut-sebut. Lagipula kakak kelas yang populer begitu, kenapa sih harus menaksir ku terang-terangan? Membuat risih saja. Aneh? Biar saja, aku bukan pecandu cerita tentang kisah ditaksir senior dan dapat pengakuan cinta terang-terangan, kok.

Suara denting kecil dari ponsel Ilham yang berbunyi bersamaan dengan suara bel masuk, membuatku tersadar dari lamunan singkat ku, aku melihatnya membuka pesan itu dan wajahnya bersinar tiga kali lipat dari biasanya. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum berdiri dan meneriakan sesuatu untuk memancing antensi. "Oi oi!" semua mata tertuju padanya, kecuali mataku. Aku memejam, membiarkan telingaku menajam. "Guru lagi rapat nih, ga ada pelajaran sampe jam makan siang. Mana sorakannya!?"

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang