[Delapan]

242 52 57
                                    

Seperti layaknya suara gema di pegunungan, perkataan Nayanika memiliki gaung berulang di dalam kepalaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti layaknya suara gema di pegunungan, perkataan Nayanika memiliki gaung berulang di dalam kepalaku. Kalimatnya yang menyatakan bahwa ia menyukai Aksara masih terasa seperti ribuan jarum kecil yang menusuk-nusuk permukaan kulitku bahkan setelah berhari-hari.

Semua gestur kecil yang dilakukannya setiap kali berada pada ruang dan waktu yang sama dengan Aksara, yang semula tak ku perhatikan, kini bak terpampang gamblang. Aku tak bisa berpura-pura tak tahu, tidak pula mampu untuk bertindak seolah aku tak merasakan apapun, dan itu membuatku kesal bukan main. Bahkan walau mengetahui bahwa tak seharusnya aku merasa demikian, aku masih merasakan campuran perasaan menyesakkan pada Aksara, pada Nayanika, dan pada diriku sendiri. 

Aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Memangnya aku siapa? Perasaan kan tidak bisa diatur semudah membalik telapak tangan.  Aku menghela nafas,  menumpukan ke dua tangan di atas meja dan menelungkupkan kepala di atasnya.  Walau tidak mau, dikala aku tak punya apapun untuk dipikirkan, kalimat-kalimat Nayanika langsung saja menyerbu pikiranku tanpa aba-aba.

"Kamu kenapa, Run?"

Suara Ayunda membuatku mengangkat kepala, beradu pandang dengan manik kecoklatan cantik miliknya. Ia menghempaskan tubuh di depanku.  Jemarinya dengan cekatan memainkan pulpen yang tergeletak di mejaku.

"Ngga apa-apa." Aku menopang dagu dengan satu tangan. Nyatanya eksistensi Ayunda di sini adalah hal terakhir yang ku inginkan. Kalau ditanya alasannya kenapa, sederhana saja karena sahabatku yang satu itu punya tingkat kepekaan luar biasa yang membuatku tak mampu membual sedikitpun padanya. "Tumben kamu nyamperin ke kelasku.  Biasanya nyuruh aku ke kelas kamu."

"Aksa nyuruh aku nemenin kamu." Ayunda mengangkat bahu, bicara ringan seolah perkataannya adalah hal paling wajar di dunia. "Dia kan mau rapat jajaran osis baru. Katanya ngga ada dia, ngga ada Naya,  ngga ada Ilham. Nanti kamu kesepian."

"Apaan banget." Aku mengerucutkan bibir. Sudah bagus aku tak harus menghadapi Aksara atau Nayanika,  namun kini Ayunda datang membawa kabar seolah Aksara memperhatikanku walau ia tak ada bersamaku. "Lebay tuh temen kamu."

"Lah? Malah emosi." Ayunda terkekeh, tampak tak ambil pusing dengan ke ketusanku. "Kamu kenapa? Kalau ada apa-apa, cerita sama aku."

"Aku ngga apa-apa." Aku kembali menelungkupkan kepala, merasa takut menghadapi mata Ayunda yang seolah bisa membaca permasalahan hatiku semudah membaca buku yang terbuka. "Lagi jelek aja suasana hatinya."

Ayunda mencondongkan tubuhnya kedepan dan menepuk-nepuk punggungku. "Pasti karena Aksa sama Naya, ya?" Aku pasti mendongak sangat cepat hingga ia yang melihatku langsung melepaskan tawa ringan seolah sudah menebak reaksiku sejak awal ia membuka mulut. "Pasti mau tanya aku tau dari mana."

"Iya." Aku mengangguk, memberinya tatapan menyelidik. "Ayu tau?"

"Tau lah. Dari sekali liat cara Naya ngeliatin Aksa juga aku udah tau."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang