[Tiga]

310 68 47
                                    

Dibandingkan dengan semua mata pelajaran yang aku dapatkan sebagai murid penjurusan IPA, tentu saja tak ada yang mengalahkan Penjasorkes sebagai pelajaraan kesukaanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dibandingkan dengan semua mata pelajaran yang aku dapatkan sebagai murid penjurusan IPA, tentu saja tak ada yang mengalahkan Penjasorkes sebagai pelajaraan kesukaanku. Aku suka sekali pagi hari yang kami habiskan dengan berlari memutari lapangan sekolah, bergerak ini itu untuk melakukan pemanasan, dan tentu saja alasan utamanya karena, hanya mata pelajaran ini yang dilakukan di luar ruangan, bisa bercanda sepuasnya tanpa harus diomeli guru. Yah, setidaknya guru olahraga ku baik hati, aku tidak tau bagaimana di sekolah lain.

Walau begitu, bukan berarti aku tak suka pelajaran lain. Aku suka semua pelajaran kecuali fisika, kimia, dan biologi. Lantas, mengapa aku menjadi murid IPA? sejujurnya aku juga tak tahu. Sebagian orang mengatakan itu keberuntungan, sebagian yang lain bilang itu petaka. Sedangkan bagiku, tentu saja yang ke dua. Beruntunglah aku memiliki Nayanika, si jagoan biologi yang selalu membantuku mengingat nama-nama latin yang membuat kepalaku pening bukan main, dan Ilham, si jenius fisika yang mengajarkan rumus-rumus yang membuat otak ku berasap dengan kesabaran seorang ibu. Lalu bagaimana dengan kimia? ah yang itu masih bisa ku taklukan dengan kemampuan otak ku, dan karenanya aku bersyukur tak perlu menambah daftar orang lain yang perlu ku repotkan. Sekedar untuk informasimu, aku kerap melakukan kecerobohan level S, yang mana membuatku sering sekali merepotkan teman-temanku.

Seperti saat ini, Aku dan Nayanika duduk bersama di kursi tunggu di Pos jaga sekolahku, menunggu mamaku mengantarkan seragam putih abu-abuku yang tertinggal karena aku sudah asik menggunakan seragam olahraga dari rumah, dan yang lebih membuatku tak enak hati adalah yang menyadarinya di kali pertama adalah Nayanika. "Naya, marah ya sama aku? Aku sering banget ketinggalan ini itu? kamu jadi ikutan repot." aku menunduk, menggerak-gerakan kakiku ke kiri dan ke kanan.

"Iya, repot banget. Lagian bisa-bisanya kemarin lupa bawa bahan uji coba biologi, sekarang lupa bawa seragam." Nayanika menggerutu, namun ia mendorong bahuku dengan bahunya. Aku merengut, menoleh padanya dan mendapatinya tersenyum padaku. "Kamu tuh jangan mikirin yang aneh-aneh. Kebiasaan sih, fokus dong."

"Iya kan, terlalu seneng mau pelajaran olahraga." Kini aku balik mendorong bahunya, membuatnya terkekeh. "Maaf, deh."

Nayanika melipat handuk kecil bergambar karakter kartun Upin milikku lalu memakaikanya di kepalaku dengan gaya pengunjung sauna di drama korea yang sering kami tonton bersama, sebelum melakukan hal yang sama pada handuk kecil bergambar karakter Ipin miliknya - handuk yang ku belikan sehabis atletik untuk kami sebagai handuk couple, walau jelas Nayanika langsung menolak anjuran itu mentah-mentah.

"Kita jadi kayak duo domba imut." Aku berkaca pada cermin di belakang kami, cermin yang bertuliskan SUDAHKAH PAKAIANMU RAPIH? tepat di atasnya.

"Nayanika sih bener, domba imut. Kalau kamu mah domba yang belom dimandiin setahun."

Suara familiar itu sontak membuatku dan Nayanika menoleh. Aku merengut mendapati mama ku berdiri di depan gerbang sekolah dengan kantung kertas yang pastinya berisi baju seragamku. "Ih, mama. Kok anaknya dibilang domba belum mandi?" aku menghampiri beliau dan mengambil bungkusan itu dengan wajah tertekuk. "Aku anak pungut, yah?"

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang