[Tujuh]

257 52 93
                                    

Di masa depan, mungkin aku akan menoleh ke belakang dan memaki betapa pengecutnya aku saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di masa depan, mungkin aku akan menoleh ke belakang dan memaki betapa pengecutnya aku saat ini.

Dari banyaknya kemungkinan yang terbentang dalam hidupku,  aku tak pernah tau bahwa mundur dari sesuatu yang sesungguhnya masih terlampau rancu adalah satu dari banyak kelemahan terbesarku. Tetapi karena kali ini perihalnya menyangkut perasaan, aku berusaha mati-matian mencari pembenaran dari sikapku ini.

Menghindari Aksara Adyatama. Siapa memangnya aku sehingga harus menjauhi dia yang senantiasa ada untuk menemaniku, dan memperlakukanku dengan afeksi seorang sahabat sejati? Iya, siapa memangnya aku? Hanya Arunika Anandita, si gadis yang terlampau mudah terbawa perasaan. 

Aku takut, hingga tiap kali melihat Aksara, aku punya tendensi untuk begelung dan bersembunyi di pojok ruangan, atau setiap kali berpapasan dengannya, aku bisa merasakan kakiku berusaha kuat-kuat tetap menjejak tanah dan tak kabur melarikan diri.  Sejak semua pergumulan perasaan yang ku rasakan mulai membentuk sebuah kesimpulan, aku tahu bahwa kedekatan kami mungkin akan membuatku semakin terperosok pada pesonanya.

Sejujurnya, aku merasa tak enak hati karena menjaga jarak dengannya, sampai-sampai aku bisa melihat tanda tanya besar di matanya tiap kali kami bersua dan aku terang-terangan menjaga jarak denganya. Setidaknya, aku bersyukur dan bisa merasa sedikit lega, karena Nayanika, setelah semua kesibukannya selesai, telah kembali padaku.  Membuatku setidaknya memiliki alasan untuk mengurangi intensitas ramah tamahku dengan Aksara. 

"Kan! Bengong lagi!" Nayanika menepuk pahaku kencang sehingga bukan hanya kembali dari lamunan siang bolongku, dan mengumpatinya sambil mengusap pahaku. Dia terkekeh, memberikan tanda damai dengan jarinya. "Lagian, aku lagi cerita malah ngga didengerin."

"Aku denger, kok." Aku merengut dan melempar bantal bulat berbentuk semangka padanya. "Naya lagi cerita susunan OSIS baru setelah kamu sama Ilham kepilih, kan?"

"Iya, tapi kamu mukanya gitu.  Mana ku tau kamu denger, ku kira kamu bengong." Nayanika merebahkan diri di sisiku, bergelung ke samping dan memeluk perutku, sedang aku menepuk tangannya sembari duduk bersandar di kepala tempat tidurku. "Kangen juga main ke rumah kamu begini. Coba ada Ilham sama Ayunda, makin seru nih."

"Yang ada kasian mama papaku, anaknya bawa tamu yang suka ngabisin jatah makanan di kulkas." Aku mencibir, walau begitu aku tahu Nayanika terlalu mengenaliku sehingga jangankan tersinggung, ia malah tertawa. "Gini nih. Punya temen tapi ngga tau diri."

"Pedes banget mulutnya, nih." Nayanika melepaskan tangannya dari ku lalu terlentang menatap langit-langit kamar. "Nanti ku telpon Ilham, ah.  Suruh dia ke sini bawa yupi cacing."

"Ngeselin!" Aku menggerutu, dan Nayanika hanya melirik ke atas ke arahku dengan ekspresi menahan tawa. Di kepalaku terlintas kejadian sewaktu kami masih duduk di kelas sepuluh, di mana ketakutanku pada hewan melata kecil itu semakin menjadi-jadi akibat tragedi yang membuatku semaput karena dilempari permen yupi berbentuk cacing milik Ilham. "Pulang sana, Naya. Ku larang nginep di sini."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang