[Prolog]

916 129 84
                                    

Namanya Aksara,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namanya Aksara,

Pemuda yang kini aku tunggu kedatangannya dengan perasaan tidak karuan. Aku bahkan tidak ingat, kapan terakhir kali aku merasa gugup hanya untuk sekedar bicara berdua dengannya. Lagipula, memangnya itu masuk akal? Aksara adalah sahabatku selama bertahun-tahun, demi tuhan! Tapi, mengingat betapa penting topik yang ingin aku bicarakan saat ini, rasanya tidak aneh jika aku merasa gundah.

Aku mulai mengetuk-ngetuk jemariku di atas meja, berusaha tidak mengarahkan jari ke bibir dan menggigit kuku ku - sebuah gestur yang aku lakukan tiap kali merasa tak nyaman - sebuah kebiasaan buruk yang selalu membuat Aksara mengomeliku. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri ku - pukul dua siang - masih ada waktu tiga puluh menit sebelum pemuda itu datang. Aku merasa semakin tak karuan, sial benar, pikirku.

"Ini Aksara. Hanya Aksara. Apasih yang kamu pikirkan Arunika!?"

Andai aku tak berada di tempat umum, mungkin aku akan merengek saat ini. Sungguh, hanya dengan merasa gugup untuk bertemu Aksara saja, aku sudah merasa bersalah bukan main. Rasanya tidak benar sama sekali, tapi memang hatiku yang bebal sulit sekali diatur.

"Selamat siang, Arunika."

Suara familiar itu membuatku mendongakan kepala, beradu pandang dengan manik mata gelap yang menjadi objek kesukaanku sejak tuhan tahu kapan. Buru-buru ku alihkan pandanganku, dan memaksakan senyum yang selalu lebih sulit ku sunggingkan ketika itu ditunjukan untuk Aksara. "Halo, Aksara. Ayo duduk."

Aksara duduk di depanku, ia menatapku sambil tersenyum. "Senang ketemu kamu lagi." Ia menjulurkan tangan untuk menyentil kecil dahiku, dan membuatku mendengus. "Aku kira kamu udah lupa sama eksistensi aku, kamu kan selalu sama Sastra."

"Kamu ngomong seolah-olah kamu ngga sibuk sama si A, si B, dan si C." Aku tidak berusaha sama sekali menyembunyikan dengusanku, dan itu nyatanya justru membuat Aksara tergelak. Lagi-lagi ia mengangkat tangan untuk menyentil keningku atau mungkin untuk mengelus kepalaku - aku tak tahu - namun buru-buru aku menahan tangannya, membawanya turun, dan menggenggamnya di atas meja.

"Kenapa? Ada apa?"

Aksara mengerutkan kening. Aku mengerti. Mungkin ia heran dengan gestur yang baru saja ku tunjukan. Bila diingat, mungkin sudah lewat bertahun-tahun sejak terakhir kali aku membiarkan diriku menggenggam tangannya. "Kamu diem dulu, Aksa. Aku...aku punya hal penting untuk diomongin."

Aksara nampak bingung dan tidak nyaman, aku tau dia tak pernah menyukai suasana serius - apalagi jika itu mewujud di antara kami berdua.

"Kamu bikin aku takut." Pemuda itu terkekeh gugup, aku meneliti sikapnya yang terbaca semudah membalik telapak tanganku sendiri. Lalu ia berdiri. "Aku pesan minuman dulu ya, ngomongnya sambil minum aja."

Ketika ia melepas genggamanku dan melangkah menjauh, aku melenguh. Sudah sulit aku mengumpulkan keberanian untuk meminta Aksara datang demi menyelesaikan perihal yang erat kaitannya dengan masa depanku, tapi pemuda itu justru membuatku semakin menciut.

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang