[Sepuluh]

271 54 83
                                    

Dalam teori tentang bagaimana cara mengikis perasaan yang ku tanam di dalam otakku, aku yakin bahwa jarak dan minimnya intensitas pertemuan pastilah memiliki peranan signifikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam teori tentang bagaimana cara mengikis perasaan yang ku tanam di dalam otakku, aku yakin bahwa jarak dan minimnya intensitas pertemuan pastilah memiliki peranan signifikan. Namun, alih-alih begitu, nyatanya saat melakukan validasi dari teori konyol itu, aku gagal total.

Bukannya menghilangkan atau setidaknya menipiskan perasaan, aku justru merasa tak karuan karena merindukannya. Ya, merindukan Aksara Adyatama yang sudah tak ku dapati eksistensinya sejak awal liburan semester, dan di minggu-minggu awal masuk sekolahpun, rasanya sulit menemuinya selain bertukar anggukan dan senyum jarak jauh karena entah bagaimana, kini ia jauh lebih aktif dalam bidang ini dan bidang itu, dibandingkan denganku. Lagipula sejujurnya, keberadaan Nayanika yang kini selalu berada di sekitar Aksara, sama sekali tidak membantuku merasa lebih baik.

"Oi! Sendirian aja cewek."

Dorongan di bahu membuatku menoleh pada Sadewa yang kini menghempaskan diri tepat di sampingku, masih dengan tampilan berantakan selepas bermain basket di lapangan.

"Hai, Dewa." Aku menyapanya malas-malasan, tatapan mataku masih mengikuti dua sosok tertentu yang baru saja keluar dari ruang guru, dan saling melempar canda satu sama lain. Aku menghela nafas, berdesisi untuk menghentikan segala kegalauan tak tentu arah ini, memilih untuk mengaitkan atensi pada teman di sebelahku. "Apa kabar?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku. Sadewa justru menyemburkan tawa dan melempar pelan bola basket di tangannya ke arahku yang cepat-cepat menghindar hingga bola itu terpantul ke sisi lain lapangan. "Kaku amat elah! Yang lain kek nanyanya."

"Ye, orang serius nanya." Aku menggerling walau menyadari mungkin pertanyaan itu memang terlalu retoris ketika ditunjukan pada seseorang yang nyatanya kelihatan luar biasa baik-baik saja di hadapanku saat ini. "Kamu maunya aku tanyain apaan? Aku mau tanya kamu bawain oleh-oleh dari Bali apa ngga, tapi kamu kan pasti ngga bawa."

"Sok tau banget anjir!" Sadewa menggelengkan kepala dengan dramatis, menatap nanar ke arahku seolah ucapanku telah merendahkannya beserta garis keturunannya yang belum nampak. "Situ mama Lauren? Apa Ki Joko Bodo?"

Aku mendengus namun akhirnya tertawa. "Ya, emangnya kamu bawa?"

"Bawa lah!" Dia tersenyum dengan bangga. "Pai susu banyak."

"Buat aku?" Aku mendekatkan diri, meninju-ninju ringan lengannya. "Mana? Kok udah dua minggu masuk sekolah, aku ngga dikasih?"

"Buat gue sendiri lah. Udah abis!"

Lagi-lagi Sadewa terbahak, hingga aku mendengus. Baru saja aku berniat mengambil bola basket di ujung lapangan guna memberi satu pelajaran tambahan padanya ketika satu suara menghentikanku, suara familiar yang menyebut namaku sehingga dengan gestur kelewat cepat aku menoleh dan mau tak mau mengembangkan senyum. "Aksa!"

"Halo, kamu. " Aksara turun ke pinggir lapangan, tempat di mana aku duduk bersila berdua dengan Sadewa. Ia berlutut dengan satu kaki sembari menangkup puncak kepalaku dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri, membuatku berdecak sebal ketika menepis gesturnya. Ia tertawa dan mengambil posisi duduk di hadapanku dan Sadewa. "Berduaan aja. Lagi digombalin Dewa, ya?"

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang