[Lima]

289 59 130
                                    

"Jadi, Aksara tadinya di Jogya, baru pindah ke Jakarta dua bulanan lalu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, Aksara tadinya di Jogya, baru pindah ke Jakarta dua bulanan lalu?"

Aku menggerling pada mamaku yang kini duduk di sampingku setelah membawakan segelas es teh untuk Aksara yang baru saja datang ke rumah kami. Aku menyandarkan tubuh, memeluk bantalan sofa. Berusaha mencerna kondisi ini. Masih ingat janji kelingking yang ku lakukan bersama Aksara tempo hari? Ya, janji itu kini harus ditepati berhubung nilai ujian harian fisikaku di atas rata-rata, terima kasih pada rumus singkat yang ia ajarkan padaku.

"Iya, tan." Aksara menyeruput es tehnya tanpa segan-segan, setelahnya ia buru-buru memasang senyum tak enak hati yang lucu. "Maaf, tante. Saya aus banget, tadi di luar panas banget."

"Iya, ngga apa-apa." Mamaku terkekeh melihatnya, sebelum melirikku. "Makannya, ini kalian yakin mau jalan-jalan? Di luar terik begitu."

"Ngga apa-apa, ma. Nanti juga adem sorean dikit." Aku menghela nafas. Bagaimana bisa rencana ini gagal hanya karena matahari sedang ganas-ganasnya? Kalau benar begitu, aku pasti akan merasa tak enak hati pada Aksara yang sudah jauh-jauh menjemputku ke rumah. "Mumpung Sabtu. Kalau ngga sekarang, harus nunggu minggu depan lagi. Iyakan, Aksa?"

Aksara mengangguk, tersenyum manis sekali, hingga aku mulai mempertanyakan mana yang lebih menyilaukan, matahari di langit atau senyuman Aksara di hadapanku? Ugh, mulai lagi. Aku menggelengkan kepala, mengusir kalimat-kalimat menggelikan yang kerap melayang bebas di otakku tiap kali mengamati Aksara.

"Kalian mau dibawain bekel, ngga?"

Pertanyaan itu membuatku merengut. Memangnya aku dan Aksara anak SD yang mau pergi piknik? "Ngga usah, mah. Nanti aku sama Aksa makan di luar aja. Sekalian mau ajak Aksa coba jajan yang legend di Jakarta."

"Ngga usah, makasih tante." Aksara melirikku dan terkekeh. "Saya nunggu dibawa ke tempat makan legend sama Arunika."

"Yaudah, kalau gitu." Mamaku mengangguk, lalu menepuk punggungku dengan lembut. "Kalian jalan sekarang aja. Biar puas keliling Jakartanya. Aksa, udah punya SIM, kan?"

"Udah, tante."

Mamaku mengangguk puas dengan jawaban Aksara. "Yaudah, hati-hati ya." Beliau melirikku jahil. "Arun, yang bener jadi tour guidenya."

"Iya, mah." Aku menghela nafas. Mengikuti Aksara yang kini telah bersiap dan menyalimi mamaku. "Nanti tolong pamitin ke papa ya kalau udah pulang olahraga."

Mamaku mengangguk, dan mengantar kami ke depan rumah - tempat di mana Aksara telah memakirkan motor vespa kuningnya yang membuatku teringat adegan-adegan film Eropa. "Eh, Aksa. Arunika juga baru dapet SIM motor lho, bulan lalu. Dia aja yang bawa motor, jadi Aksa bebas liat-liat."

Hah? Apa aku tak salah dengar? Apa-apaan itu? Aku menoleh secapat kilat pada mamaku yang memang kerap punya ide-ide impulsif yang membuatku pening. "Ah, ngga ah. Ya kali deh, Aksa mau dibonceng cewek."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang