[Empat]

290 61 77
                                    

Mungkin kalau bukan karena eksistensi Aksara yang terasa menyita seluruh atensiku selama beberapa hari belakangan, aku pasti sudah uring-uringan setengah mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin kalau bukan karena eksistensi Aksara yang terasa menyita seluruh atensiku selama beberapa hari belakangan, aku pasti sudah uring-uringan setengah mati. Ke dua sahabatku - Nayanika dan Ilham - sibuk dengan perihal ini dan itu, yang mana membuatku nyaris tak memiliki kesempatan bersama mereka kecuali di dalam kelas. Sebab itu, keberadaan Aksara di sekitarku menjadi dua kali lipat lebih terasa, dan jujur saja aku tidak keberatan sama sekali.

Aku tak terlalu ingat berapa hari telah berlalu sejak percakapan panjang kami yang pertama, di kantin, dengan segelas es jeruk yang dibelikannya untukku. Tapi yang jelas, sejak saat itu rasanya aku selalu mendapati diriku bersamanya. Tentu saja, bukan hanya dengan pemuda itu, tapi juga dengan beberapa teman lainnya. Namun, suka atau tidak suka, toh aku menyadari sepenuhnya bahwa hanya Aksara lah yang kerap menjadi pusat gravitasi pandanganku. Bahkan, kalau diingatpun aku masih merasa bingung mengapa begitu, tetapi di pengujung hari aku akan menemukan diriku berdesisi bahwa itu semua disebabkan karena memang  Aksara begitu kentara. Bukan hanya untukku, namun juga bagi orang lain.

Aku menggumamkan sebuah lagu perlahan, menopang pipi pada pembatas balkon di depan kelasku - mengamati segerombolan anak lelaki yang sedang berdiri memberi hormat di depan tiang bendera. Ku perhatikan mereka satu persatu hingga mataku nendarat pada sosok familiar Aksara, dan menggeleng tidak habis pikir. Sore itu, di jam terakhir, Aksara dan beberapa temanku dari kelas yang sama dengannya tertangkap basah bermain monopoli di kelas, padahal kelas mereka mendapat jatah tugas dari guru yang berhalangan hadir. Aneh sekali, pikirku. Mana pernah aku terbersit pikiran bahwa akan ada saatnya aku menyaksikan segerombolan anak dari kelas unggulan dihukum seperti itu?

"Malu-maluin ya?"

Suara lembut itu membuatku menoleh dan beradu pandang dengan salah satu teman dekatku dari kelas sebelah, kelas yang sama dengan Aksara. Namanya Ayunda Larasati, gadis cantik bersuara merdu yang kerap dianggap ibu oleh anak-anak di angkatan yang sama denganku. Aku terkekeh sebelum menjawabnya ketika ia sudah tiba di sampingku. "Lumayan, ah. Kenang-kenangan. Masa kelas kalian aja yang ngga punya catatan merah."

"Heran aku juga. Bisa-bisanya Sadewa seniat itu bawa monopoli gara-gara mau main ke rumah Aksara." Ayunda menggerling sebal, namun ku lihat senyum kecil menggantung di ujung bibirnya. Tentu saja, siapa yang tidak jengkel sekaligus terhibur dengan pemandangan yang kami lihat saat ini? "Malah dimainin mentang-mentang ngga ada guru Bindo. Dihukum, deh."

Ku alihkan pandanganku kembali ke depan. Melenguh dalam diam ketika antensiku secara langsung terfokus pada punggung milik Aksara yang entah sejak kapan mulai terlihat familiar. Benar, pikirku. Tak butuh waktu lama bagi anak baru itu untuk mendapat banyak teman. Bahkan dalam konotasi kurang baik seperti mendapat hukuman, ia pun punya segerombol teman bersamanya.

"Bener-bener, deh. Padahal Aksara ngga ikutan main."  Ayunda menopang pipi dengan satu tangan sementara matanya mengamati satu persatu teman-teman sekelasnya di bawah sana. "Dia tuh cuma ikutan ketawa doang, sama jadi tim hore. Dia sibuk ngerjain tugas MTK buat minggu depan, sama aku juga."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang