[Sembilan]

235 48 88
                                    

"Mau liburan semester kemana, Run?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau liburan semester kemana, Run?"

Aksara merebahkan diri di sampingku, kedua tanganya terlipat menjadi bantalan bagi kepalanya. Aku duduk menyelonjor di sebelahnya, mengunyah pastel yang baru saja disajikan mamaku. "Ngga tau. Belum kepikiran" Aku mendorong kakinya dengan kakiku, sehingga ia melirik ke arahku. "Emangnya Aksa mau kemana?"

"Balik ke Jogya, kangen kampung." Ia merenggangkan tubuhnya, melihatnya membuatku melakukan hal yang sama. Aku melirik dua sepeda yang terparkir di halaman rumahku dan terkekeh. Entah sejak kapan aku dan Aksara memiliki kegiatan rutin Sabtu pagi bersepeda bersama. Setelahnya kami akan sibuk meraup nafas dan bersantai di teras rumahku. Aksara bergerak nampak tak nyaman dengan posisinya, hingga ia melenguh. "Run, minjem bantal sofa, yah."

Aku tak menjawabnya, hanya sekedar menganggukan kepala hingga ia buru-buru melepas sepatu dan menyelonong masuk ke ruang tamuku. "Sa, ambil dua. Aku juga mau." Aku menyeru dan tersenyum ketika ia keluar dengan dua bantal persegi kecil di tangannya. "Makasih."

"Ngomong-ngomong, kemarin jadi mampir ke toko buku dulu?" Aksara kembali ke posisi awalnya setelah menyesap teh hijau dingin yang disajikan untuknya. "Maaf ya, aku ngga jadi nemenin. Lagian kamu nyuruh aku stay di sana."

Aku menghela nafas, sejujurnya tak punya keinginan sama sekali untuk membahas perihal yang satu itu. Hari di mana aku sengaja membatalkan rencana keluyuran akhir bulanku dengan Aksara, ketika mendapati Nayanika masuk ke rumah sakit karena pingsan akibat kelelahan. Kami berdua menjenguknya tentu saja, lalu aku membiarkannya menetap karena aku tahu Nayanika, walau tak mengucapkannya, pasti akan senang. "Jahat! Kaya ngga ikhlas nemenin Naya."

"Lah ngga gitu." Ia merengut, menggerling sebal padaku, dan ku balas dengan gestur serupa yang akhirnya justru membuatnya terkekeh. "Aku sih ngga apa-apa nemenin Naya. Tapi, kan jadi batal ngebolang bareng kamu."

"Santai aja. Aku jadinya ke toko buku sama Bang Bayu, sekalian katanya mau cari modul buat kuliah." Aku mengendikan bahu, berusaha memberi kesan bahwa itu bukan masalah sama sekali, walaupun pada kenyataannya saat itu, butuh berjam-jam untukku merasa baik-baik saja. Kalau ditanya bagaimana kelanjutan hubungan di antara kami bertiga, maka aku sama sekali tak punya jawaban. Toh setelah berminggu-minggu aku mengetahui perasaan Nayanika, kami masih sama saja seperti sebelumnya. Tak ada kenaikan pangkat apapun di antara dia dan Aksara, dan aku masih jadi satu-satunya pihak yang merasakan beban luar biasa di hati ketika dihadapkan dengan mereka berdua di waktu yang sama. "Makasih ya udah nemenin Naya. Kasian kalau ngga ditemenin, orang tuanya kebetulan lagi dinas ke luar kota."

"Santai." Aksara tersenyum kecil lalu memejamkan mata ketika angin berhembus lembut membelai wajah kami. Ah, hanya dengan melihatnya seperti itu saja, hatiku meretih. Sungguh, aku tidak tahu, bahwa menyukai seseorang bisa membuatku ingin menangis hanya karena melihat wajahnya. Sungguh, perasaan bodoh dan aneh, pikirku.

Ada banyak hari di mana aku merasa ingin mengomeli Nayanika. Karena selain pengkuan perasaannya pada Aksara yang ia lakukan padaku dulu, nyatanya ia nampak tak melakukan apapun untuk mendapatkan pemuda itu. Dia masih Nayanika yang terlalu pemalu, dan masih Nayanika yang merasa santai-santai saja saat pemuda yang dia sukai, menghabiskan lebih banyak waktu berdua denganku. Rasanya aku hampir ingin dia cemburu, marah, atau menyuruhku menjahui Aksara. Dengan begitu aku tak perlu merasa bersalah di dalam hatiku tiap kali menatap Aksara beberapa sekon lebih lama dari yang seharusnya. "Sa."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang