[Enam]

244 53 82
                                    

Sedari awal seharusnya aku berhati-hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari awal seharusnya aku berhati-hati. Sedari kali pertama pikiranku membuat kalimat menggelikan bak puisi tentang betapa indahnya sosok Aksara yang wajahnya disinari matahari saat kami bertemu di selasar depan kelasku, seharusnya aku tau itu sebuah sinyal yang menyerupai rambu kuning bagi perasaanku. 

Tidak, bukan maksudku aku sudah menyukai Aksara. Yah,  setidaknya menurutku belum sedalam itu, jika memang aku mengesampingkan rasa tidak tahu diri dan menerima fakta bahwa aku, mau tak mau, memang memiliki tempat khusus baginya. Terlalu cepat? Aku tau, kok. Tak tau diri padahal dia sudah memberiku sebuah kalimat isyarat halus, dan memastikan hubungan macam apa yang melibatkan kami? Yang itu aku juga tau, kok.

"Oi!  Bengong mulu!"

Aku mengerjap, dan meruntuk dalam hati kala sosok dalam lamunanku kini hadir. Eksistensinya yang selalu terasa terlalu kentara, kini semakin memberat ketika ia menghempaskan diri di hadapaku - menopang pipi dan menatapku dengan sepasang manik matanya yang gelap.  "Udah sendirian, bengong lagi. Awas kesambet."

"Aku ngga bengong tuh, cuma-" Aku menghela nafas.  Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku hanya sedang memikirkannya, namun mana mungkin?  Bisa-bisa Aksara merasa risih. "cuma, mikirin PR yang belum ku kerjain aja."

"Widih. Padahal besok Sabtu,  bisa-bisanya masih mikirin tugas." Aksara mengangkat tangan untuk menepuk puncak kepalaku,  gestur yang entah sudah berapa kali ia lakukan, dan bagiku yang hanya menerimanya tanpa protes, gestur itu sudah menjadi kebiasaan berulang, yang tentu saja setiap kali dilakukan akan membawa beban baru dalam hatiku. "Murid teladan, sih."

"Arunika murid teladan, kata Aksara yang nilai rata-rata ujian hariannya peringkat dua seangkatan." Aku merengut, memutar-mutar sedotan di gelas es jerukku. "Kamu ngeledek banget."

Aksara tertawa. Aku mengamatinya ketika ia memberi kode memesan minuman pada salah satu konter di kantin, tanpa bertanyapun aku tahu, ia pasti memesan segelas teh hangat. Tak perduli seberapa panas udara, Aksara selalu memesan minuman yang satu itu. Katanya harum khas teh membuatnya tenang.  Aku heran, namun tak mendebat, lagipula diam-diam kebiasaannya yang itu mulai tertanam di otakku.  Membuatku otomatis memikirkan Aksara tiap kali melihat ragam jenis teh.

"Itu mah karena beruntung aja.  Kalau Arunika kan belajar giat,  pantes buat dibilang teladan." Senyum kembali menyapa wajahnya,  ketika teh hangatnya tiba. Seperti biasa,  Aksara akan membawanya mendekat,  dan menghirup harum tehnya, yang sesungguhnya tak ku pahami. "Oh iya. Kak Arya itu yang mana sih?"

"Kenapa emangnya?" Aku berjengit.  Dari seribu satu topik, topik yang satu ini tak pernah ku bayangkan akn meluncur keluar dari bibir Aksara. "Kok, tiba-tiba?"

"Ayunda bilang, kamu udah punya pawang. Namanya Arya, kakak kelas." Aksara menyeruput tehnya perlahan, lalu kembali memandangku dengan satu alis terangkat. "Pengen tau aja orangnya yang mana.  Lagipula kalau bener,  aku jadi ngga enak nih deket-deket kamu mulu."

Untuk AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang