“Yakin lo udah nggak apa-apa? Muka lo masih keliatan pucet tuh.”
“Gue udah mendingan, kepala gue udah gak sepusing kemarin.”
Kansha tidak lagi mempertanyakan keadaan Yusuf karena sepertinya lelaki itu tidak mau menerima kekhawatiran orang lain. Lagipula tidak ada alasan juga bagi Kansha untuk mengkhawatirkannya. Mereka hanya rekan bisnis.
“Sori ya lagunya baru selesai sekarang. Niatnya mau gue kelarin kemaren, tapi gue malah tepar.”
“Iya santai aja, btw uangnya udah gue transfer ke rekening lo.” Yusuf mengangguk.
“Gue salut sih sama lo, dalam waktu singkat bisa bikin lagu sekeren ini. Gak sia-sia deh gue ngejar-ngejar lo.” Mengingat bagaimana pertemuan-pertemuan awal mereka membuat keduanya terkekeh pelan.
“Bagus kalau lo suka, gue bikin lagu itu dari hati.”
“Ya, gue tau. Sekali lagi makasih.”
Yusuf tak menjawab. Ia membiarkan Kansha memutar lagu buatannya untuk yang kesekian kali. Dilihat dari wajahnya, Kansha memang tampak puas dengan hasil karyanya.
Lagu berjudul One's Heart Sinks itu menceritakan tentang seseorang yang sangat menderita, tapi dituntut harus selalu tersenyum di depan orang lain. Harus terlihat bahagia dan baik-baik saja seakan ia tidak memiliki beban hidup sama selali.
I said it's fine, but it's really not.
I can't smile anymore.Begitulah penggalan lirik yang ditulis Yusuf sebagai penutup lagunya.
Begitu lagu selesai diputar, Khansa tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Yusuf membuat lelaki itu bertanya-tanya dengan matanya. “It's time to say goodbye. Pertemuan kita emang singkat sih, tapi gue seneng pernah kenal sama lo.”
Yusuf tersenyum kecil dua detik kemudian sembari menyambut uluran tangan Khansa yang terasa dingin saat bersentuhan dengan telapak tangannya.
“I can't say it's good to meet you, tapi seenggaknya gue nggak nyesel ketemu sama lo. Karena gue jadi tau bahwa gue punya temen sependeritaan.”
“Temen sependeritaan? Sounds good.” Khansa menaikkan sekilas kedua bahunya sebelum pamit pada Yusuf.
“Entar gue kabarin kalau penampilan perdana gue bawain lagu ini udah tau, kali aja lo mau dateng.” Yusuf mengangguk.
“Oh, satu lagi!” Khansa yang hampir menghilang di balik pintu, kembali menoleh. “Good luck buat apapun yang mau lo lakuin dari sekarang.”
“Lo juga.”
Kemudian keduanya benar-benar berpisah. Khansa kembali ke rumahnya sedangkan Yusuf segera mengemas barang-barang. Mengunci studio dan bergegas menuju suatu tempat untuk menemui seseorang.
Seseorang yang sebenarnya enggan ia temui, tapi terpaksa harus ia temui untuk meluruskan sesuatu sebab setelah ini dia benar-benar ingin memutuskan hubungan dengannya.
Dua puluh lima menit kemudian akhirnya dia sampai. Orang yang ingin Yusuf temui sudah tiba lebih dulu. Menyambutnya dengan satu senyuman lebar—yang sejujurnya sama sekali tidak berhasil menggerakkan hati Yusuf untuk balas tersenyum—Yusuf hanya manarik kursi dan duduk di depannya dengan raut datar.
“Kamu udah makan?”
“Udah!” Yusuf menolak basa-basinya. Dia ingin segera pergi dari sana meski belum ada satu menit sejak ia mendudukan diri di kursi berbahan kayu yang dicat mulus berwarna coklat itu.
Menyadari lawan bicaranya enggan berlama-lama, si wanita mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kemudian memberikannya pada Yusuf. Sebuah undangan pernikahan dimana namanya terukir sebagai mempelai wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Nothings [𝙴𝙽𝙳]
General FictionSemesta berbisik : Cukup di sini, cinta tiada di pihakmu. Percuma saja! Drama | Campus Life Start : 08 Februari-01 Juni 2021 ©Dkatriana