11

240 52 7
                                    

Pertama kali datang di rumah keluarga Pamungkas ini yang Janu cari adalah Jauhar, seseorang yang selama ini ia taruhkan rasa cemburu atau bahkan iri.

Saat itu Janu tak sengaja melihat ayahnya bersama "keluarga lainnya" kata ibu, jadi baru waktu itu ia tahu kalau ibunya hanya wanita simpanan. Dan sejak saat itu Janu kerap kali melihat ayahnya sedang bersama Jauhar, hal itulah yang membuatnya merasa iri pada Jauhar karena ia tidak bisa melakukannya sesering Jauhar.

Tapi rasa iri itu mungkin akan memudar dengan seiring berjalannya waktu karena sekarang Janu pun memiliki jadwal yang sama seperti Jauhar untuk bertemu dengan ayahnya.

"Gak ikut deh Yah, udah bosen dateng ke acara yang katanya makan malam keluarga besar tapi isinya malah ajang pamer," keluh Jauhar. "Kita mau pamerin apalagi coba?"

"Pamerin Janu lah," jawab June santai.

Ah iya, Janu kan anggota baru di keluarga besar itu. Apa mungkin mereka dapat menutup telinga dari kata-kata tajam yang dilontarkan oleh anggota keluarga yang lain?

"Ayo ikutlah, sekalian kamu kenalin Janu sama sepupu-sepupu yang lain." bujuk Rose.

Dengan mau tak mau akhirnya Jauhar datang ke acara rutin keluarga besar June Pamungkas. Disana Janu agak amazed selain pada rumah besar milik orang tua ayahnya tapi juga dengan orang-orang yang hadir malam itu, gayanya mewah abis! Pantas saja kalau Jauhar bilang ini bukan sekedar makan malam biasa.

"Dateng juga tuh mereka." Janu tidak asing dengan sosok yang mengucapkan kata tersebut. Hasta Kamandaka, cowok tinggi yang jadi pujaan di sekolahnya itu ternyata sepupu jauhnya.

"Ada wajah baru nih, tapi sayang banget lo belum bisa join grup karna penuh," ucap Hasta dengan seringaiannya.

"Jangan banyak tingkah, inget. Lo juga dulu ada di posisi dia." Janu cukup kaget dengan kalimat yang dilontarkan cowok yang sekarang sedang menatapnya.

"Gue Danny Kamandaka, udah gak usah tegang gitu mukanya." Kemudian cowok itu merangkul bahu Janu dan mengajaknya berkeliling untuk mengetahui lebih banyak tentang keluarga besar mereka.

Janu melihat sosok yang sekilas mirip dengan ayahnya kemudian mereka tak sengaja beradu mata. Raut tegang jelas terlihat di wajah Janu apalagi setelah mendengar kata, Panggil anaknya kesini yang ditujukan untuknya.

"Jadi ini Janu?"

Hanya anggukan sebagai jawaban yang diberikan, sungguh Janu tidak sanggup mengeluarkan suara.

"Saya kalah cepat dari ayahmu."

Kepalanya terus menunduk, jangankan bersuara karena menatap wajahnya pun Janu tidak sanggup. Menurutnya aura yang dipancarkan oleh pria ini sangat tajam sehingga tak ada keberanian bagi Janu.

"Sebetulnya saya selalu mengawasi kamu dan ibumu. Saat tahu kalau waktu ibumu sudah tidak banyak lagi, saya berniat untuk mengirim kamu ke luar negeri tapi ternyata ayahmu sudah lebih dulu membawamu ke rumahnya."

Janu melirik dengan ujung matanya, ia mencoba menerka-nerka raut wajah tersebut apakah kalimat selanjutnya adalah ancaman untuk mengusirnya?

"Janu, saya tidak membenci ibumu apalagi kamu." Suara berat itu yang membuat Janu bungkam dan takut untuk berbicara. "Hanya saja saya tidak senang apabila peraturan keluarga kami tidak dipatuhi." lanjutnya.

Dia tahu kemana arah pembicaraannya yang akan berakhir dengan pilihan tetap bersama keluarga itu namun diasingkan ke luar negeri atau pergi selama-lamanya dari keluarga itu. Ya kira-kira itulah bayangan yang ada di kepalanya bagaikan drama-drama yang pernah dilihatnya.

"Jangan pernah membuat masalah yang bisa mencoreng nama baik keluarga."

Janu sangat takut untuk mendengar kalimat selanjutnya jika apa yang ia bayangkan itu benar. Karena sejujurnya ia tak mau pergi jauh dari keluarganya, hanya mereka yang saat ini ia miliki.

"Jalan untuk masuk ke dalam keluarga kami cukup mudah buatmu, jadi jangan pernah tinggalin keluarga ini."

Janu tertegun mendengarnya. Akhirnya tanpa sadar ia berani menatap wajah pria itu, sorot matanya yang dalam membuat Janu bingung dan penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh orang dihadapannya ini. Terlalu rumit untuk anak yang usianya masih belasan tahun itu.

"Tadi udah ngobrol sama kakek?"

Lamunannya buyar oleh suara khas milik Jauhar. Janu tak sadar kalau sudah cukup lama diam di tempat itu seorang diri.

"Eh, iya bang." Janu tersenyum mencoba untuk merilekskan diri.

"Janu, jangan khawatir. Karena kita saudara."

Karena kita saudara. . .

By NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang