Derit Malam

4.3K 231 2
                                    


Malam begitu sunyi, tinggal aku yang masih terjaga seorang diri. Aku mengambil sebuah mushaf, membuka dan membacanya perlahan untuk mengusir rasa sepi.

Srek ... srek ...

Terdengar suara langkah kaki di seret dari luar rumah. Aku tetap melanjutkan membaca mushaf di tangan. Suara langkah kaki terdengar kembali. Kali ini disertai suara derit benda yang digesekkan pada dinding rumah.

Aku begitu khawatir, bila ada orang yang ingin menyakiti kami. Aku bergegas mengambil HP yang berada di atas nakas, mencari nomor Mila, lalu menghubunginya.

Satu-dua kali tidak ada jawaban. Aku kembali menekan nomornya.

"Halo, Assalamualaikum, Mil."

[Ada apa Rei, malam-malam gini telepon?"]

"Ada orang di luar rumah. Aku takut orang itu akan mencelakai kami."

Suara derit itu kembali terdengar, tepat di samping kamar.

[Maaf Rei, aku sedang liburan bersama anak-anak kafe ....]

Panggilan telepon tiba-tiba terputus.


Suara derit terputus, berganti suara ketukan keras di jendela.

Aku semakin ketakutan, apalagi di rumah hanya ada aku dan anak-anak. Aku mengunci pintu kamar dan naik ke atas tempat tidur, memeluk Nela dan Neli.

Suara derit kembali terdengar, suaranya berada di depan rumah. Aku hanya bisa berdoa, meminta perlindungan pada Allah SWT.


Suara derit kembali menghilang, berganti suara pintu yang digedor keras.

Aku mendengar sepertinya orang yang di luar mencoba membuka pintu depan.

Aku kembali meraih HP, memencet nomor Mila. Namun, sayang nomor Mila tidak bisa dihubungi. Jam menunjukkan pukul 23:15. Jam segini orang-orang sudah tertidur lelap.

Aku begitu bingung harus meminta pertolongan kepada siapa?


Aku mencari nama seseorang yang bisa dimintai pertolongan. Sedangkan, orang terdekat hanya Mila. Dia sedang tidak berada di rumah.

Mas Randi ... aku tidak bisa meminta pertolongan kepadanya. Raya pasti akan melarangnya. Pak Hasan, jarak rumah kami terlalu jauh. Hanya Pak Herman yang jarak rumahnya yang terdekat, tapi aku tidak mungkin meminta pertolongan kepadanya.


Akhirnya aku kembali menghubungi Mila.

"Mil, cepat ke sini ... aku takut sekali, orang itu berusaha masuk ke dalam rumah," ucapku bergetar.

[Baiklah, aku akan segera ke sana. Agar lebih cepat aku akan segera mengirim salah satu karyawanku ke sana untuk membantu.]

Aku sedikit lega mendengarnya. Akan tetapi, orang itu berusaha mendobrak pintu. Di dera rasa ketakutan aku membangunkan Nela dan Neli. Menggandeng mereka menuju pintu belakang untuk meninggalkan rumah, sebelum pria itu masuk.

"Ayo Sayang, cepat." Bersama kedua putriku, aku berjalan mengendap di tengah gelapnya malam untuk mencari perlindungan.

"Berhenti!" Terdengar suara serak pria. Dia mengetahui keberadaan kami.

Aku berlari dengan menggandeng Nela dan Neli. Namun, langkah kaki kami terbatas, karena Nela dan Neli masih kecil belum mampu berlari kencang.

"Bunda!" teriak Nela saat pria memakai masker menangkap dan menggendongnya.

"Lepaskan putriku! Apa maumu? Kalau kamu mau uang ambil saja. Tapi, tolong lepaskan putriku."

Nela terus saja meronta dalam gendongan pria itu. Namun, sesaat kemudian Nela terdiam pandangannya mengarah ke belakangku. Seketika aku menoleh ke belakang.

"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun ...." Mila dan teman-temanku di kafe datang. Mereka membawa sebuah kue berwarna coklat dengan ucapan selamat ulang tahun di atasnya.

"Kalian jahat!" Aku menangis sejadi-jadinya karena ulah mereka. Aku sungguh ketakutan jika terjadi sesuatu pada putriku.

Nela yang tadi menangis di gendongan pria bermasker, kini dia tertawa dengan sebuah es krim di tangannya.

Pria itu mendekatiku dan Neli masih dengan Nela di gendongannya. Dia itu menurunkan Nela dari gendongan lalu mendekati Neli, memberinya sebuah es krim.

Dia melepaskan masker di wajahnya.

"Anto." Aku memukul badan pria itu.

"Tega kamu, ya," ucapku masih dalam keadaan terisak.

Mila yang membawa kue berjalan mendekatiku. Di sampingnya ada Nadia dan Pak Herman.

"Tiup lilinnya," perintah Mila. Aku meniup lilin berbentuk angka dua dan delapan berwarna merah yang tertancap di atas kui. Usai tiup lilin, Nadia menyerahkan pisau kue kepadaku.

Aku memberikan suapan pertama kepada kedua putriku, dilanjutkan pada Mila, lalu teman-temanku. Terakhir pada Pak Herman.

Mila dengan iseng menoel kue dengan telunjuknya, lalu mengoleskannya pada wajahku. Aku pun membalasnya.

Usai memotong kue kami pun masuk ke dalam rumah. Aku membuatkan mereka minuman dan menyiapkan makanan seadanya.

Usai membersihkan wajah dari kue, aku duduk di sofa, bersama Mila dan ketiga teman lainnya. "Kalian benar-benar keterlaluan. Untung aku tidak punya penyakit jantung."

"Anton, lo benar-benar sukses bikin aku ketakutan." Aku melempar pria itu dengan bantal yang ada di sofa.

"Mila tuh yang merencanakan semuanya." Anto menunjuk Mila.

"Bukan Cuma ide aku saja. Kalian juga kan menyetujuinya."

Tepat jam satu malam mereka berpamitan untuk pulang.

"Mil, kami tidur di sini, ya! Aku merasa ketakutan ni," pintaku.

"Baiklah, apa sih yang enggak buat kamu." Mila memelukku.

Pak Herman tiba-tiba keluar. Tak lama dia kembali dengan membawa sebuah kotak di tangan.

"Rei, selamat ulang tahun ya!" Pak Herman memberiku sebuah kotak berwarna biru dengan pita perak.

"Terima kasih, Pak." Aku menerimanya.

Anto dan Nadia mendekatiku.


Nadia menjabat tanganku dan mencium pipi kanan dan kiriku.

"Selamat ultah ya, Say. Semoga Allah senantiasa memberimu kebahagiaan. Semoga Allah juga mengirimkanmu jodoh terbaik pilihannya kelak."

"Amin." Aku memandang wajah gadis itu. Walaupun kami sudah lama tidak lagi bekerja bersama, tapi silaturahmi kami tidak terputus. Nadia dan Anto sering datang ke rumah walau hanya sekedar mampir sebentar.

"Selamat ulang tahun, Rei." Dia menjabat tanganku, lalu berusaha memelukku.

"Eits ...." Aku mendorong tubuhnya. "Bukan mahram," ucapku menggoyangkan jari telunjuk di hadapannya.

"Bercanda, Rei. Bercanda." Anto menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau gitu aku juga mau!" goda Pak Herman mendekatiku. "Maafkan segala khilaf dan salahku selama ini, Rei," pintanya.

"Tanpa meminta maaf pun, aki sudah memaafkan, Pak."

Mereka bertiga pun akhirnya pulang.

***

"Mil, aku berangkat dulu, ya!" pamitku. Nela dan Neli sudah rapi. Mereka sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

Aku dan anak-anak berangkat dengan berjalan kaki sampai ke jalan raya, lali kami naik angkutan umum hingga ke sekolah mereka.

***

Pada saat akan keluar dari rumah, Mas Randi sudah berada di luar. Dia berdiri tepat di hadapanku. "Selamat ulang tahun." Dia memberiku sebuah paper bag berwarna merah dengan motif bunga. Ternyata Mas Randi masih mengingat hari ulang tahunku.

"Terima kasih, Mas." Aku menerima paper bag yang dia bawa.

Mas Randi mendekati Nela dan Neli, tapi mereka justru bersembunyi di balik badanku.

"Ayo dong Sayang, sapa dulu Papanya," pintaku.

Nela dan Neli memandang Mas Randi takut. Mereka menggelengkan kepala.

"Rei, maafkan perbuatanku," ucapnya.

"Sudahlah, Mas. Kamu tidak usah meminta maaf terus-terusan. Tanpa kamu meminta maaf pun, aku sudah memaafkanmu. Maaf ...." Aku menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Sudah siang, aku harus berangkat kerja." Aku dan kedua putriku, berjalan meninggalkannya.

***

"Habis belanja, ya?" tanya Sifa pada saat aku masuk ke dalam butik. Gadis itu sedang menyapu butik.

Aku menggelengkan kepala. "Ini kado dari Mas Randi," ucapku menunjukkan paper bag di tangan.

Dia berhenti menyapu dan berjalan mendekatiku. "Mantan suami kamu itu?" tanya Sifa. Aku menganggukkan kepala.

"Kalau aku mah, ogah. Suami masa gitu! Saat istri sudah tak cantik lagi, karena sibuk mengurus dirinya anak-anak. Eh ... dia cari daun muda lagi. Ih .... amit ... amit." Sifa berjongkok, menekuk jari-jarinya, memukul-mukulkan pada lantai.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Semoga kelak aku yang saleh dan di jauhkan dari pria yang bersifat seperti tutup panci penyok." Sifa bergidik ngeri.

"Amin." Aku menengadahkan kedua tangan, lalu menyapukan ke wajah.

"Ada-ada saja kamu, tuh." Aku menepuk pundak Sifa.

"Kamu kok, masih mau dekat-dekat sama dia?" tanyanya kepo. Sifa memang tipikal gadis yang banyak tanya. Rasa ingin tahunya terlalu tinggi.

"Walau bagaimana pun, dia merupakan ayah dari anak-anakku. Sudah akh ... aku ke dalam dulu. Kalau terus-terusan di sini, kamu enggak. Selesai menyapunya." Aku berjalan masuk ke dalam ruangan tempatku menjahit pakaian.

"Surprise!"

Meisa berdiri di depan pintu, membawa sebuah kue yang diselimuti krim berwarna putih dengan hiasan bunga-bunga berwarna merah muda dan hijau. Di atas kue tertulis 'Selamat ulang tahun Reina' dengan empat buah lilin kecil berwarna hijau, kuning, dan merah muda di atasnya. Di samping Meisa ada Pak Hasan.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Meisa bukan hanya atasan, dia seperti adik dan juga sahabat untukku. "Terima kasih."

Meisa mendekatiku. "Tiup lilinnya," pintanya

Aku begitu bahagia hari ini dikelilingi banyak sahabat yang begitu menyayangiku.

"Rei."

Pak Hasan mendekatiku.

Bersambung ....
Cerita ini sudah bisa dibaca sampai tamat di KBM Aplikasi

Cerita ini sudah bisa dibaca sampai tamat di KBM Aplikasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang