Pertemuan dengan Mas Randi

6.7K 330 1
                                    


"Reina, maafkan saya," ucap Pak Herman menghampiriku yang baru keluar dari sekolah.

Entah, mau apalagi dia menemuiku. Aku merasa tidak dengan kehadirannya. Apalagi beberapa kali dia mengutarakan keinginannya untuk menikah.

"Bapak tidak salah, tidak perlu meminta maaf." Aku berjalan meninggalkannya.

Pria itu tetap kekeh berjalan mengikutiku.

"Saya antar pulang," tawarnya.

"Maaf, Pak. Saya tidak ingin ada fitnah di antara kita karena saya masih berstatus istri orang. Sekali lagi maaf." Aku menangkupkan kedua tangan di dada.

"Baiklah, tunggu sebentar." Pria itu berlari menuju mobilnya, tak lama dia kembali menghampiri kami membawa sebuah kantong keresek yang berisi penuh. Dia mendekati putriku, berjongkok dan berbicara pada mereka. "Kalian mau es krim tidak?" tanyanya.

"Mau, Om, tapi ...." Nela memandangku. Begitu juga Pak Herman.

"Jangan takut, Om, teman mama kamu kok!" akunya pada anak-anak.

"Boleh enggak, Bunda?" tanya Neli memandangku.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Hore ... makasih ya Om," ucap mereka bersamaan.

"Terima kasih," ucapku berjalan meninggalkannya pulang ke rumah.


Bukan cuma es krim, ada banyak makanan ringan di dalam kantong keresek dengan merek minimarket ternama.

Sejak saat itu Pak Herman sering menemui kedua putriku, baik di rumah ataupun di sekolah. Membawakan mereka beraneka es krim dan makanan ringan, terkadang mainan.
Namun, dia tak pernah menemuiku atau sekedar berbicara. Dia datang mengantar makanan untuk anak-anak kemudian pulang.

Aku tidak membencinya, walau dia dulu sering menggodaku saat masih bekerja di kafe. Sebenarnya dia memiliki hati yang baik, tapi salah dalam mengungkapkan. Mungkin dia berpikir, seorang wanita akan terpikat hanya dengan iming-iming harta. Namun, tak semua wanita tertarik pada seorang pria yang memiliki harta. Sejatinya seorang wanita menyukai pria dari sifat dan pribadinya.

***

"Reina, aku ingin rujuk kembali," ucap Mas Randi setelah hampir lima bulan dia pergi meninggalkan kami.

Rasa sakit dan kecewa akan luka yang dia goreskan, membuatku lupa akan rasa cinta yang pernah ada. Sungguh sebuah keputusan sulit untuk menerimanya kembali ke dalam kehidupanku.

"Maaf Mas, aku tidak bisa. Sudah banyak luka yang kau torehkan." Aku menunduk, menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Maafkan aku. Aku menyesal telah menyakitimu."

"Aku sudah memaafkanmu, Mas, sebelum Kamu meminta maaf. Walau bagaimanapun, kamu adalah ayah dari Nela dan Neli. Oh ... ya, perceraian kita, insya Allah aku akan segera mengurusnya."

"Apa kamu tidak mau mempertimbangkannya lagi?" tanyanya menatap penuh harap.

"Tidak, Mas."

Aku dan Mas Randi duduk di teras, menatap Nela dan Neli yang sedang bermain. Hujan lebat membuatnya tertahan lebih lama.

"Besok hari Minggu, aku mau mengajak anak-anak jalan-jalan," ungkapnya.

"Terserah, Kamu-Mas, tanyakan saja sendiri ke anak-anak!" ucapku menunjuk si kembar.

"Mas Randi bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Nela dan Neli, duduk di samping mereka dan bermain bersama.

"Kalian besok mau enggak jalan-jalan sama ayah!" ajaknya.

"Mau, Ayah," ucap Nela dan Neli serempak. Mereka tampak bahagia.

"Sama Bunda 'kan, Ayah?" tanya Neli.


Aku hanya mampu tersenyum getir. Mereka masih terlalu kecil, belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua orang tua mereka.

"Insya Allah, Sayang," jawabku tak ingin membuat mereka kecewa.

"Hore ...!" teriak mereka meloncat-loncat bergandengan tangan.

Ingin rasanya keluargaku utuh dan sempurna, tidak ada luka, ataupun duka. Namun, semua itu sekarang hanya impian belaka. Semua karena kehadiran orang ketiga. Andai waktu dapat kembali diputar, aku akan menjaga keluarga ini, menjaga Mas Randi agar tidak berpaling ke lain hati. Tapi kini semua itu hanya sia-sia yang ada hanya luka yang sudah terlanjur menganga.


Walaupun berat aku harus melepaskannya. Sekali berkhianat suatu saat dia pasti akan mengulanginya. Sedari awal hubungan kami, telah ditegaskan bahwa aku membenci sebuah kebohongan.


Setelah menemani anak-anak bermain Mas Randi berpamitan untuk kembali ke kontrakannya.

Begitu banyak kenangan yang dia tinggalkan. Begitu banyak pula penderitaan yang dia torehkan. Dia pria pertama yang memberiku cinta. Namun, dia juga pria pertama yang membuatku terluka.

***

Mas Randi menepati janjinya. Dia datang mengajak kami jalan-jalan ke kota lama. Anak-anak begitu bahagia saat bersepeda berkeliling bersama. Desiran cinta kembali terasa, apakah aku harus bertahan atau meninggalkannya? Keraguan kini merasuk ke dalam dada.

"Bunda, foto yuk!" ajak mereka.


Kami berdiri di dekat sepeda ontel, mengambil foto bersama berlatar kan kota tua.

'Ah ... kenapa kau berkhianat Mas, tidakkah kau lihat, betapa bahagia anak-anak saat bersamamu?' gumanku dalam hati.

"Ayah, kenapa Ayah tidak tinggal di rumah bersama kami lagi?" tanya Nela saat kami sedang menikmati makan siang di sebuah resto makanan cepat saji.

"Iya, kapan Ayah pulang ke rumah?" timpal Neli.

"Nanti, Sayang kalau pekerjaan Ayah sudah selesai," jawabku memandang Mas Randi.

Dia hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan kedua buah hati kami.


Dia tak hanya mengajak kami ke kota lama, kami mampir juga ke sebuah mall ternama, membeli beberapa mainan dan keperluan si kembar.

Tak terasa waktu telah menginjak malam. Mas Randi mengendong Nela dan aku mengendong Neli yang tertidur di jok belakang saat di perjalanan. Mas Randi menyewa mobil agar kami nyaman saat perjalanan.

"Randi!" teriak Raya.

Saat kami berjalan memasuki rumah.


"Mas dari mana saja kamu dengan dia?" Dia menunjukku.

Nela yang berada di gendongan Mas Randi terbangun dan turun. Aku membawa mereka ke kamar agar tidak melihat pertengkaran kami.






Bersambung ....





Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang