"Mas Randi," ucapku kaget melihatnya berada di kafe. Jarak kantor tempatnya bekerja, memang agak jauh dari kafe, jadi hampir tidak pernah dia ke kafe ini saat jam istirahat.
Raya berdiri. "Jadi, kamu sekarang bekerja sebagai pelayan!" hinanya dengan intonasi tinggi, membuat semua mata tertuju padaku.
"Iya, tak ada yang salah dengan pekerjaan ini," jawabku.
"Dasar rendahan," makinya mempermalukanku di hadapan semua orang.
Aku memang wanita miskin, tidak sekaya dan secantik dirinya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, begitulah nasibku, Mas Randi sudah di ambilnya dan kini dia mempermalukanku.
"Lebih mulia menjadi pelayan, dari pada menjadi perebut suami orang!" sungutku kesal."Apa kamu bilang!" ucap Raya tak terima seraya menggebrak meja.
"Ada apa ini?" tanya Pak Herman yang berjalan menghampiri kami.
"Pelayan ini, telah menghina saya!" fitnah Raya menunjukku.
"Dia ...."
"Reina, kamu ke dalam!" Perintah Pak Herman sebelum aku menjawab.
"Baik, Pak." Dengan perasaan kesal berjalan meninggalkan mereka.
Aku mengamati mereka dari dalam, tampak mereka sedang membicarakan sesuatu, Raya sesekali menunjukku. Entah apa yang Pak Herman katakan padanya hingga dia terdiam dan duduk.
Pria itu berjalan melewatiku yang masih berdiri di samping pintu, membawa catatan kecil, menyerahkan pada Nadia, setelah apa yang tertulis telah tersaji di atas nampan. Pak Herman membawanya keluar meletakkan di meja mereka.
"Reina, ke ruangan saya!" perintahnya menghampiriku, saat dia kembali ke belakang.
"Baik, Pak," ucapku berjalan mengikutinya. Entah apa yang akan dia bicarakan, aku pasrah bila akhirnya dia memecatku.
"Apa yang kamu lakukan Reina?" tanya Pak Herman saat kami sampai di ruang kerjanya. Dia berdiri, menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada meja. "Kemarin, ribut dengan seorang pemuda, sekarang mereka, kamu bisa kerja enggak sih!" katanya berjalan menghampiriku, memandangku sesaat lalu duduk bersandar di kursinya. Wajahnya tampak penuh amarah.
"Maaf, Pak, kemarin pemuda itu merendahkan saya, dia memaksa saya untuk duduk bersamanya," terangku yang masih berdiri.
"Apa salahnya, duduk sebentar menemani dia!" bentak Pak Herman, matanya melotot.
"Maaf, Pak, saya bukan wanita murahan yang bisa di sentuh sembarangan pria. Aku punya agama dan harga diri, kejadian kemarin aku anggap sebagai teguran karena lalai dengan perintah agama, karena itu hari ini, aku menutup aurat, untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Oh iya ... Pak, wanita tadi adalah orang yang menghancurkan rumah tangga saya, dan pria itu suami saya. Silakan kalau Bapak mau memecat saya!" ucapku marah merasa terhina dengan perkataan Pak Herman, yang memintaku untuk duduk menuruti pemuda yang akan melecehkanku kemarin.
"Aku, tidak bisa memecatmu, karena kamu sahabat, Mila," terangnya.
"Kalau begitu permisi, Pak, saya masih ada pekerjaan," pamitku keluar dari ruangan Pak Herman.
Statusku memang belum jelas, tapi bukan berarti mereka dapat memperlakukan seperti itu. Aku masih punya harga diri dan tahu batasan-batasan, mana yang baik dan mana yang buruk.
"Sabar, Rei." Nadia yang berdiri menguping pembicaraan di samping pintu berjalan mengikutiku.
"Terima kasih." Aku meninggalkan Nadia, berjalan menuju kamar mandi untuk menumpahkan segala luka yang ada di dada.
Jam dua belas, saatnya istirahat, seperti biasa aku pulang ke rumah untuk makan bersama dengan anak-anak.
"Nad, aku tinggal sebentar, ya," pamitku. Aku melepas celemek, menaruhnya di meja dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
RomansaReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...