Trauma

4.9K 222 3
                                    

          

“Mas, sudahlah. Mereka takut kepadamu. Nanti aku akan menjelaskan semua pada mereka, agar mereka mau kembali menerimamu,” terangku.

“Baiklah, tapi ingat kata-kataku, kalian tidak akan mungkin bisa bersama,” ancam Mas Randi sebelum pergi meninggalkan kami.

Mas Randi itu sungguh jahat. Dia telah menghianatiku, tapi sekarang di kembali hadir menjadi bayang-bayang kehidupanku.

Aku juga ingin seperti wanita lain, yang memiliki seorang pria yang mampu mengayomi dan imam terbaik bagi keluarganya.

“Jangan dengarkan dia. Yakinlah jika kita berjodoh, Allah pasti akan menyatukan kita.” Pak Hasan meraih Neli dan menggendongnya.

Kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah membayar makanan dan minuman yang kami pesan.
Selama di perjalanan Nela dan Neli tampak diam. Mereka sepertinya ketakutan melihat keributan tadi.

“Bunda, apa ayah akan menyakiti, Bunda lagi?” ucap Nela.

Aku menggelengkan kepala. “Tidak sayang, ayah tidak mungkin menyakiti, Bunda.” Aku mencoba memberikan pengertian agar mereka tidak berpikiran buruk pada ayahnya.

“Soalnya Neli lihat Bunda sering menangis karena Ayah.”

Ya Allah, sebegitu perhatiannya mereka kepadaku. Padahal aku selalu berusaha menyembunyikan air mataku dari mereka.

“Enggak sayang, Bunda itu menangis kalau Bunda kelelahan saja.” Aku berusaha untuk meyakinkan mereka.

“Kalau Bunda menangis karena kelelahan, mending Bunda enggak usah kerja aja! Nela ikut sedih soalnya kalau melihat Bunda menangis.”

“Neli juga sama.”

Aku menoleh pada mereka. Titik basah berjatuhan di pipi. Aku memandang mereka tak percaya. Rasa cinta mereka adalah sebuah kekuatan untukku.

“Kalau Bunda enggak kerja kalian enggak bisa beli susu dong!” Aku mencoba mencairkan suasana.

“Bunda cari Ayah baru aja! Kaya Aura—teman Nela. Dia punya Ayah baru yang baik hati.”

Kali ini aku tidak bisa menjawab pertanyaan mereka.

“Sudah sedih-sedihnya. Besok Om akan bawa kalian jalan-jalan lagi. Kalian mau ke mana?” Pak Hasan mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Beneran ya, Om, tapi jangan ke alum-alun lagi. Nela enggak mau ketemu ayah lagi.”

“Neli, juga.”

Mereka berdua tampak begitu kesal sekali pada ayahnya.

“Sayang, jangan begitu. Ayah itu kangen banget loh sama kalian. Dia itu pengen banget peluk kalian. Besok lagi kalau ketemu ayah yang baik ya!” jelasku.

“Enggak mau. Dulu waktu Nela dan Neli menangis. Ayah justru meninggalkan kita sama tante jahat itu.”

Nela dan Neli melipat kedua tangannya di dada dengan mulut yang monyong ke depan.

Ternyata mereka berdua memang memendam dendam pada ayah mereka.

“Bunda tante jahat itu sebenarnya siapa, sih?”

Aku memandang Pak Hasan karena bingung harus menjawab apa pada mereka.

“Dia itu teman Ayah sama seperti Bunda sama Om Hasan,” terangku.
“Tante itu enggak sama kaya Om Hasan.” Nela semakin menekuk wajahnya.

“Iya benar. Om Hasan orangnya baik, sedang tante itu jahat!”

Anak-anak memang pandai menilai antara yang baik dan buruk. Akan tetapi, sebagai orang tua, harus wajib untuk membimbing mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan yang tidak baik.

Setelah capek marah-marah, akhirnya mereka tertidur pulas.

***

“Rei.”

Mila menghampiriku saat aku akan berdiri di tera rumah bersama anak-anak yang sudah siap untuk berangkat sekolah.

“Hai, Mil.”

Aku memandang jam di pergelangan tangan, jam menunjukkan pukul enam pagi. Masih ada waktu untuk sekedar mengobrol dengannya. Apalagi Pak Hasan belum datang menjemput kami.

“Kalian kok belum berangkat?” tanyanya.

“Lagi menunggu Om Hasan, Tante,” jawab  Neli.

“Om Hasan, siapa?” tanya Mila penasaran.

“Tuh, orangnya!” Nela menunjuk ke arah sebuah mobil yang berhenti di halaman rumah.

Mila memandang ke arah mobil. Pintu belakang terbuka. Sebuah kaki dengan sepatu kulit mengkilap turun.

Pak Hasan kali ini mengenakan setelan jas berwarna hitam. Dia sangat tampan ketika mengenakan jas. Dia berjalan menghampiri kami.

Tampak di dalam mobil Pak Mahmud melambaikan tangan seraya tersenyum menyapa kami. Aku menganggukkan kepala seraya membalas melemparkan senyum.

Melihat Pak Hasan anak-anak berlari menghampirinya. Nela bahkan meminta pria itu untuk menggendongnya.

Mila duduk di hadapanku tampak terkesima melihat kehadiran Pak Hasan. Aku pun memperkenalkan mereka.

Mila terus saja memandang Pak Hasan. Akan tetapi anak-anak langsung menarik Pak Hasan menuju ke mobil.

“Pasti senang, ya. Punya suami seperti dia,” ucap Mila dengan pandangan masih tertuju pada Pak Hasan.

Aku tak menimpali pertanyaannya. Ak bergegas berjalan menuju mobil menyusul anal-anak.

“Mil, aku berangkat dulu ya!”
Mila hanya diam tak mendengarkanku berbicara.

Apakah Mila juga mempunyai perasaan yang sama denganku.
“Siapa perempuan tadi?” tanya Pak Hasan saat kami sudah berada di dalam mobil.

“Mila, temanku,” jawabku lesu.

“Oh Mila yang punya kafe itu ya!”
Aku menganggukkan kepala.

“Dia janda ‘kan?” tanya Pak Hasan.
Aku menganggukkan kepala lagi.

“Keren, ya. Seorang janda tapi usahanya bercabang-cabang.”

Aku merasa tidak nyaman dam senang saat Pak Hasan  membicarakan kelebihan perempuan itu. Seandainya!

Bersambung ....
Cerita ini sudah bisa dibaca sampai tamat di KBM App

Cerita ini sudah bisa dibaca sampai tamat di KBM App

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang