Kebersamaan

4K 224 2
                                    


"Rei, selamat ulang tahun." Pak Hasan menjabat tanganku. "Maaf, aku tidak tahu kalau kamu ulang tahun hari ini, jadi aku tidak bawa kado. Sebagai gantinya besok aku akan mengajak kalian liburan ke pantai."

"Benarkah, Kak!" Meisa tampak berbinar, mendengar pernyataan kakaknya.

"Aku mengajak Reina bukan kamu!" Pak Hasan menoel hidung mancung Meisa.

"Katanya kalian, berarti aku juga dong!" Meisa memandang kakaknya dengan mata manja.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa karena hari minggu biasanya waktu saya bersama anak-anak," tolakku. Mana mungkin aku pergi liburan dan meninggalkan anak-anak sendiri di rumah.

"Ajak mereka. Kita akan liburan bersama besok. Ajak Sifa dan karyawan lain juga," ucapnya memandang Meisa.

Aku merasa tidak enak hati pada Pak Hasan dan Meisa. Tidak ada hubungan apa-apa diantara kami. Akan tetapi, mereka sangat begitu baik padaku. Bahkan, mereka menganggapku seperti keluarga.

Setelah memotong kue, aku melanjutkan menjahit gaun pengantin Raya. Gaun berwarna putih gading dengan model ball gown. Model gaun ini sangat anggun, memesona, dan klasik.

Pak Hasan berangkat menuju perusahaan garmen miliknya.

Aku menghembuskan napas berat. Ada rasa sedih yang hinggap di dalam dada. Dulu aku bersanding dengan Mas Randi. Sekarang, aku yang menjahitkan gaun untuk calon istrinya.

Aku memandangi gaun yang tergeletak di hadapanku. Seketika mataku rasanya memanas, nafas pun tiba-tiba sesak.

"Rei, kamu kenapa?" Meisa mendekatiku. Dia memegang pundakku.

Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak apa-apa."

"Kalau kamu tidak sanggup menjahit gaun ini, sini biar aku saja yang menjahitnya." Meisa meraih gaun di hadapanku.

"Tidak usah, aku bisa kok. Aku tidak apa-apa, Mei. Dia itu masa laluku. Insya Allah aku akan berusaha melupakannya." Aku memandang Meisa. Tanpa sadar air mataku menganak sungai.

Meisa dengan sigap memelukku untuk menguatkan. "Sudah jangan menangis, ada aku di sini yang selalu siap untuk menjadi tempatmu bersandar."

"Terima kasih, Mei." Meisa melepaskan pelukan. Aku kembali melanjutkan menjahit gaun Raya.

***

Hari yang di nanti pun tiba. Kami berangkat mengendarai mobil travel. Meisa dan Pak Hasan duduk di depan. Aku duduk di belakang mereka bersama Nela dan Neli.

Di sepanjang perjalanan kami bernyanyi bersama. Kedua putriku pun tampak bahagia, menikmati perjalanan ini.

Setelah sampai di tempat tujuan. Kami mencari tempat berteduh dan menggelar tikar.

Kami berteduh di bawah pohon rindang. Tepat di belakang kami ada permainan anak-anak berupa komedi putar, kereta mini, dan trampolin. Di hadapan kami lautan membentang luas. Tampak beberapa kapal nelayan yang sedang berlayar.

"Bunda Neli mau naik itu!" Neli menunjuk komedi putar yang berada sepuluh meter dari tempat kami duduk.

"Neli mau enggak Om temani main komedi putarnya?" tanya Pak Hasan.

"Mau, Om," jawab Neli.

"Biar sama saya saja, Pak," tolakku.

"Bagaimana kalau sama Om Hasan dan Bunda," saran Nela.

Aku dan Pak Hasan saling memandang, tak tahu harus menjawab apa.

"Sudah sana, kalian temani mereka," celetuk Meisa.

Nela menarik tanganku, berjalan, sedang Neli menarik tangan Pak Hasan. Kami pun berjalan bersama menuju komedi putar.

Neli duduk di patung kuda yang berdekatan dengan Pak Hasan . Neli tampak bahagia sekali bersama dia. Sedangkan, Nela duduk berdampingan denganku. Nela juga tampak sangat bahagia.

Setelah naik komedi putar mereka berpindah, menaiki kereta mini. Aku dan Pak menunggu mereka di tepian.

"Bunda!" teriak mereka kompak. Mereka berdua melambaikan tangan pada kami.

"Terima kasih, Pak," ucapku memandangnya.

"Untuk apa?" tanyanya.

"Untuk semuanya?"

Dahi Pak Hasan berkernyit, seperti tak paham dengan yang aku katakan.


Berada di dekatnya, hatiku rasanya berdebar kencang. Apa mungkin, aku mulai menyukainya? Segera kutepis perasaan yang ada dalam dada. Selain merasa jika diri ini tidak pantas untuk pria itu. Aku belum siap untuk kembali berumah tangga.

Aku takut bila harus kembali kecewa dan terluka karena pengkhianatan. Seperti apa yang pernah dilakukan Mas Randi terhadapku.

"Rei." Pak Hasan menyentuh pundakku membuyarkan lamunan. Saat disentuhnya aku merasa seperti terkena sengatan aliran listrik.

"Kamu kenapa?" Pak Hasan memandangku heran.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa, Pak."

"Rei ... Kak ...!" Meisa berteriak memanggil kami. Karena terlalu jauh. Dia memberi isyarat pada kami dengan menunjuk jam di pergelangan tangannya.

Pertunjukan ikan lumba-lumba akan segera di mulai. Orang-orang pun sudah berbondong-bondong untuk masuk ke sana.

Pak Hasan segera menghampiri kedua putriku. Menurunkan mereka satu persatu lalu menggandeng mereka, berjalan mendekatiku.

"Ayo!" ajaknya saat berada di sampingku.

Aku menatap punggungnya. Dia begitu baik terhadapku dan anak-anak. Anak-anak juga tampak sangat menyukai pria itu.

Pak Hasan menoleh ke belakang.

"Kenapa masih berdiri di sana? Apa mau aku gandeng juga!" godanya.


Aku pun berlari kecil menghampiri mereka. Kami bersama-sama menuju tempat pertunjukan. Waktu pertunjukan yang hampir dimulai membuat orang berbondong-bondong untuk segera masuk, membuat pintu masuk penuh sesak. Pak Hasan menggendong Nela, sedang aku menggendong Neli. Aku berada tepat di belakangnya. Di belakangku ada Meisa dan anak-anak lainnya.

Pada saat itu tiba-tiba, ada seorang ibu yang akan menerobos antrean yang sudah tak beraturan sejak awal. Seketika Pak Hasan meraih tanganku, menariku maju ke depan.

Perasaan apa ini? Kenapa jantungku kembali bergetar hebat. Aku memandang tangannya yang menggenggam erat tanganku.


Akhirnya kami bisa masuk ke dalam. Bau amis seketika menguar. Aku merasa sangat mual. Bau itu berasal dari kolam ikan besar berbentuk lingkaran di tengah ruangan. Kami mengambil posisi duduk di sebelah utara, di bagian paling atas. Kebetulan tempat duduk penonton berupa undakan-undakan yang melingkar.


Bau amis pun memudar, beriringan dengan tempat duduk yang mulai penuh dengan pengunjung. Kedua putriku asyik bersenda gurau bersama Pak Hasan.

"Bunda, lihat!" Anak-anak menunjuk ke arah kolam, ketika pertunjukan akan dimulai.

Ada dua lumba-lumba yang berenang-renang di kolam.


Di tengah pertunjukan MC menunjuk pengunjung untuk maju ke depan.

"Pasangan suami istri dengan anak perempuan kembar, silakan maju ke depan."

Aku memandang ke kanan dan kiri, mencari pasangan yang dimaksud. Namun tidak ada anak kembar lain, selain Nela dan Neli.

"Ibu yang memakai baju berwarna merah muda dan Bapak yang memakai kaos abu-abu beserta putri kembarnya silakan turun ke sini."

Aku menunjuk hidung, tak percaya jika aku dan Pak Hasan yang diminta maju.

"Ayo maju sana!" pinta Meisa yang duduk di depan kami.

Aku, Pak Hasan beserta anak-anak maju ke depan. Aku dan Pak Hasan di minta berjongkok di depan kolam.

Prit ....

Ketika peluit dibunyikan, lumba-lumba berenang menuju ke arah kami. Ketika hampir tiba di tepian kolam Lumba-lumba naik, mereka mencium pipi kami.

"Maafkan ya, Pak, jika pipi istrinya dicium Nakula. Dia emang begitu suka menggoda cewek cantik," goda MC.

Semua pengunjung tertawa mendengarnya. Mereka mengira kami sepasang suami istri. Aku memandang Pak Hasan karena malu. Mungkin saat ini pipi sudah memerah karena malu.


Setelah giliranku dan Pak Hasan, tiba giliran anak-anak. Aku memegang Nela, sedang Pak Hasan memegang Neli.

Peluit kembali dibunyikan. Lumba-lumba kembali berenang menuju kami, sebelum tiba di tepi kolam, mereka memukulkan ekor pada air. Seketika air menyembur mengenai tubuh kami.

Lumba-lumba kembali berenang menuju kami. Mereka mencium pipi Nela dan Neli.

Kami sangat menikmati liburan di pantai bersama Pak Hasan dan karyawan butik.

***

Tak terasa senja mulai menyapa. Di tepi pantai, menikmati surya yang mulai menurun. Meisa, Sifa dan teman-teman yang lain bermain air, ketika ombak datang, mereka berlari menghindar. Wajah mereka tampak begitu ceria.

Nela dan Neli asyik bermain pasir. Aku duduk mengawasi tak jauh dari mereka.

"Minumlah." Pak Hasan mengulurkan sebuah minuman dingin kepadaku.

"Terima kasih."

Pria itu duduk di sampingku. Kami sama-sama memandang Nela dan Neli.

"Hasan." Seorang gadis cantik, memakai gamis berwarna merah dengan jilbab senada menghampiri kami.

"Humaira." Pak Hasan seketika berdiri menghampiri gadis itu.

Bersambung ....
Cerita ini bisa dibaca sampai tamat di KBM Aplikasi.

Cerita ini bisa dibaca sampai tamat di KBM Aplikasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang