“Maaf, kalau aku menyinggung perasaanmu.” Pak Hasan memandangku.
“Oh iya, dari mana Bapak kenal Mila?” tanyaku.
“Dia janda kaya, kafenya ada dimana-mana, siapa yang tidak kenal dengannya. Aku juga terkadang meetting bersama klien di kafenya.”
“Oh begitu, ya.” Aku memandangnya.
“Aku kira ....”
“Kamu kira aku suka sama dia.” Belum selesai berbicara Pak Hasan menyela.
“Bukan begitu.”
“Kamu cemburu?” tanya Pak Hasan.
“Ehem ....” Pak Mahmud melirikku.
Walaupun kau ada bersamaku
Ku takkan berhenti menunggumu
Katakan padaku katakanlah cinta
Untukku untukku
Katakan padaku katakalah cinta untukku
Ku dengar kau bicara
Pak Mahmud menyanyikan lagu Ipang yang berjudul ‘Kalau Cinta Harus Bicara’ aku tahu pria itu sedang menyindir kami berdua.
“Suara Pak Mahmud merdu ya, kenapa tidak jadi penyanyi saja,” godaku.
“Iya Kek, suara Kakek bagus. Enggak kaya suara Bunda.”
Pak Mahmud dan Pak Hasan tertawa.“Emang suara Bunda jelek ya, kalau nyanyi?,” tanya Pak Hasan.
“Bukanya jelek lagi. Suaranya bisa bikin sakit kepala,” celoteh Nela.
Mereka semua menertawakanku. Rasanya kalau bisa. Aku ingin bersembunyi di bawah jok mobil.
Saat bercanda, HP Pak Hasan berdering. Aku dapat melihat jelas nama Humaira tertera di layar HP.
Pak Hasan tidak menerima panggilan itu. Namun, sesaat kemudian terdengar nada tanda pesan masuk di HP-nya. Pak Hasan hanya membaca tanpa membalasnya.
Pak Hasan meandang Nela dan Neli yang masih asyik bercanda dengan Pak Mahmud. “Nela, Neli, Om Hasan nanti sore tidak bisa menjemput, kalian pulang hanya dijemput Bunda saja, enggak apa-apa ‘kan?” Pak Hasan memandang Nela dan Neli bergantian.
“Enggak apa-apa kok, Om,” jawab Nela memperlihatkan gigi depannya yang ompong.
***
“Assalamualaikum.” Seorang wanita berjilbab merah masuk ke dalam butik.
“Meisa-nya ada?” tanyanya menghampiriku yang sedang menata busana di butik.
“Ada di ruangannya, silakan jalan lurus saja,” terangku.
“Iya terima kasih.” Wanita itu tersenyum padaku.
“Setelah sekian lama, dia kembali lagi.” Sifa menghampiriku.
“Humaira, dia sangat cantik dan anggun.” Aku masih terpukau dengan kecantikan wanita itu.
“Tapi, lebih cantik dan baik kamu,” bisik Sifa.
Sifa memang sangat pandai dalam menghiburku. Dia karyawan butik yang paling dekat dan akrab denganku.
“Aku ke dalam dulu, masih ada gaun yang harus aku jahit.” Aku meninggalkan Sifa dan berjalan masuk ke dalam ruangan yang sama dengan Meisa.
Saat membuka pintu, aku mendengar Meisa sangat marah pada Humaira.
“Aku harap, kamu tidak menemui Kak Hasan lagi, sudah cukup kamu menyakiti hatinya. Tidak butuh waktu yang singkat untuknya melupakanmu dan bangkit dari keterpurukan.
Sekarang saat dia bangkit, kamu justru kembali. Apa kami tidak puas telas menyakitinya!” Meisa berdiri berhadapan dengan Humaira. Aku hanya berdiri di ambang pintu melihat mereka.
“Maafkan aku. Aku terpaksa melakukan semua itu. Aku hanya ingin membantu ayahku. Hanafi dia berjanji akan membayar hutang perusahaan ayah, jika aku mau menikah dengannya,” terangnya.
“Omong kosong!” sangkal Meisa. Gadis itu melihat kehadiranku. “Rei.” Dia menatapku. Aku berjalan mendekatinya. “Rei, perkenalkan ini Humaira.” Aku mengulurkan tangan, Humaira menyambutnya. “Oh iya, Humaira. Reina ini calon Istri Kak Hasan.”
Aku tidak menyangka Meisa akan berbicara seperti itu. Padahal aku dan Pak Hasan belum terikat dalam status yang bernama tunangan.
“Selamat ya.” Wanita itu mengulurkan tangan. Aku membalasnya. Dia tersenyum padaku, senyum yang tampak penuh rasa kecewa.
“Oh ya, kalau begitu aku pulang dulu.” Humaira pergi meninggalkan ruangan. Aku tahu dia terluka dan kecewa. Pada saat berjalan, dia tampak beberapa kali mengusap wajahnya.
Aku kembali meja dan menyalakan mesin jahit. Sesekali aku memandang Meisa. Dia tampak murung. Beberapa kali gadis itu memijat kepalanya. “Mei kamu kenapa?” Aku berjalan mendekatinya.
“Kepalaku pusing sedikit pusing.” Dia memegang kepalanya.
“Aku ambilkan obat sebentar.”
Aku berjalan mengambil obat sakit kepala di kotak P3K yang terletak di atas sebuah lemari kecil dalam ruangan. Aku memberikannya pada Meisa. Meisa bergegas meminumnya dengan bantuan air putih yang ada di meja kerjanya.
“Mei, sebenarnya siapa wanita tadi?” tanyaku pura-pura tak mengetahui sosok Humaira.
“Dia mantan Kak Hasan.” Meisa pun menceritakan semuanya padaku.Ceritanya dan cerita Meisa maupun Pak Hasan sama. “Maafkan aku. Aku tadi sudah bilang padanya kalau kamu itu tunangan Kak Hasan. Aku hanya tidak ingin wanita itu terus membayangi kehidupan Kak Hasan,” terangnya.
“Aku tidak masalah.”
Aku kira dia mengetahui kalau Pak Hasan menyatakan cinta padaku. Ternyata itu alasan sebenarnya kenapa dia berbicara seperti itu.
“Mei kamu kenapa?” Tanpa disadari Pak Hasan masuk ke dalam ruangan. Dia menghampiri Meisa.
“Kepalanya pusing.” Aku menjelaskan. Pak Hasan memandangku sesaat.
“Aku tidak apa-apa jangan khawatir."
“Ayo pulang. Kamu Istirahat saja di rumah,” pintanya.
“Rei, tolong bantu aku memapah Meisa ke mobil.”
Aku berada di sisi kanan Meisa, tangan Meisa merangkul pundakku, sedang Pak Hasan berada di sisi kiri Meisa.
“Rei, kamu masuk juga. Ikut kami pulang, siapa tahu nanti aku masih butuh bantuanmu.” Aku pun masuk ke dalam duduk bersama Meisa di belakang. Padahal ada Pak Mahmud, bisa saja kan meminta bantuan darinya.
***
Tidak butuh waktu lama, kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah. Rumah dua lantai dengan cat berwarna putih.
Halamannya rumah tersebut sangat luas, berbagai tanaman ada di sana dan semuanya tersusun rapi.
Aku dan Pak Hasan kembali memapah Meisa menuju kamarnya yang terletak di lanti dua.
Pada saat menaiki tangga, seorang wanita berusia lima puluhan mendekati kami. “Meisa kenapa, Nak.”
“Kepalanya pusing, Mi,” jawab Pak Hasan.
Kami pun bergegas menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, kami merebahkan Meisa di tempat tidur berukuran king size dengan seprai berwarna merah muda dengan corak bunga.
Wanita tadi menyelimuti tubuh Meisa. “Dia sudah minum obat belum?”
Wanita itu menunjuk Meisa.
“Sudah, Mi. Tadi Reina sudah memberinya obat sakit kepala.”
Aku memandang Meisa, gadis itu matanya terpejam, sepertinya dia tertidur.
Kami bertiga lantas turun ke bawah dan duduk di ruang tamu. Rumah Pak Hasan sangat besar dan mewah. Berbeda sekali dengan rumahku yang sederhana.
“Oh, iya Mi. Ini Reina, karyawan butik. Sekaligus teman kami.” Pak Hasan mengenalkan kami. Aku mengulurkan tangan dan mencium punggung tangannya.
“Saya Uminya Hasan dan Meisa. Panggil saja Umi,” ucap wanita itu tersenyum.
“Saya, Reina Umi.”
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Umi. “Oh ya Rei kami tinggal di mana?” tanya Umi memandangku.
“Jalan tentara, Umi,” jawabku.
“Reina sudah menikah atau belum?”Bersambung ....
Cerita ini juga bisa dibaca sampai tamat di KBM app
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
عاطفيةReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...