Liburan Bersama Pak Hasan
Benar saja Pak Hasan begitu sulit melupakannya. Dia begitu cantik dan anggun. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Pak Hasan dan Humaira berjalan meninggalkan kami.
Aku pun mendekati anak-anak, menghentikan permainan mereka. Kami lantas menuju kamar bilas untuk mandi dan berganti pakaian.
Waktu juga sudah sore, rombongan kami, sudah berkumpul semua. Kami siap untuk kembali. Namun, Pak Hasan belum kembali, entah ada di mana dia saat ini dan entah apa yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba hatiku rasanya cemas dan gelisah entah mengapa, dadaku juga rasanya begitu sesak.
"Rei, Kak Hasan ke mana?" tanya Meisa mendekatiku.
"Tadi dia pergi dengan seorang wanita. Dia memanggilnya Humaira," terangku.
"Humaira!" ucapnya terbelalak kaget.
Aku menggelengkan kepala, karena tidak tahu pasti siapa perempuan itu.
Meisa tampak kecewa mendengar Pak Hasan bersama dengan Humaira. Aku tidak tahu betul bagaimana hubungan Humaira dan Pak Hasan. Akan tetapi pria itu tampak masih sangat mencintai wanita itu.
Aku juga tidak tahu, kenapa Meisa begitu gelisah saat mendengar Pak Hasan bersamanya.
"Aku akan mencoba menelepon, Kak Hasan." Meisa mengambil HP dari tas branded berwarna merah berukuran 21cm×15cm×6cm.
Dia mencoba menghubungi Pak Hasan. Beberapa kali dia menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya kami putuskan untuk masuk ke dalam mobil dan menunggunya di dalam. Kami berharap pria itu segera kembali.
Lima belas menit kemudian, dari kejauhan tampak Pak Hasan berjalan mendekati mobil travel. Melihat hal itu, Meisa bergegas turun untuk menghampirinya.
Aku melihat Meisa sangat marah pada kakaknya. Entah apa yang mereka bicarakan di luar. Aku hanya bisa memandang mereka dari balik kaca mobil. Rasanya, tidak etis kalau mencampuri urusan mereka.
Seperti tahu kalau aku memerhatikannya, Pak Hasan memandang ke arahku. Aku pun segera memalingkan wajah agar dia tidak tahu kalau aku sedang memerhatikannya. Aku lantas memandang kedua putriku yang berdiri di atas kursi. Mereka sedang bercanda dengan Sifa yang duduk di jok belakang kami.
'Tak berselang lama, Pak Hasan dan Meisa masuk ke dalam mobil. Mereka duduk di kursi mereka. Pak Hasan langsung bersandar di kursi, sepertinya dia tertidur.
Selama perjalanan, suasana hening. Semua yang ikut liburan tertidur karena kelelahan. Hanya tinggal aku dan sopir yang masih terjaga.Pikiranku masih melayang memikirkan Humaira. Mungkinkah aku cemburu pada wanita itu?
Aku hanya seorang janda beranak dua. Mana pantas aku bersanding dengan Pak Hasan-pria tak hanya tampan dan juga mapan. Akan tetapi dia juga pria yang baik hati.
***
Kami tiba di butik selepas isya. Aku menggandeng Nela dan Neli di tangan kanan dan kiri. Kami bergegas untuk pulang.
"Aku antar," tawar Pak Hasan.
"Biar saya naik angkutan saja, Pak," tolakku.
"Sudah malam, biar aku antar. Kasihan Nela dan Neli. Mereka pasti sudah kelelahan dan mengantuk." Pak Hasan menunjuk Nela dan Neli.
Mereka memang sudah tampak lelah dan mengantuk. Sebenarnya aku juga tidak tega, kalau mereka harus berdiri lama di tepi jalanan untuk menunggu angkutan. Apalagi sudah malam, pasti angkutan hanya satu dua saja yang lewat.
"Tidak usah, Pak. Terima kasih. Biar kami pulang sendiri saja." Aku beranjak meninggalkan pria itu. Akan tetapi baru beberapa meter kami melangkah, dia mengejarku.
"Malam-malam begini, angkutan juga susah, jika adapun pasti sudah penuh dengan karyawan-karyawan pabrik yang baru pulang kerja. Biar aku antar, kasihan mereka kalau harus berdiri di angkutan." Pak Hasan meraih Nela dan menggendongnya menuju mobil.
Memang benar apa yang di katakan Pak Hasan. Biasanya jam delapan malam, angkutan pasti penuh sesak oleh pekerja pabrik. Biasanya sopir angkutan sengaja mangkal di depan pabrik, karena di malam hari penumpang di jalan sepi. Akhirnya, aku pun mengikutinya dan pulang bersama Pak Hasan.
Aku duduk di samping kemudi bersama pria itu. Nela dan Neli di jok belakang. Benar saja baru beberapa menit mobil melaju, mereka sudah tertidur lelap. Mereka pasti sangat kelelahan setelah seharian bermain di pantai.
Selama di perjalanan aku hanya diam. Beberapa kali Pak Hasan memandang. Aku bersikap acuh dan tetap memandang ke arah jalanan.
"Rei, apa kamu marah kepadaku?" Pak Hasan memandangku sesaat.
Aku memandang Pak Hasan. "Marah untuk apa, Pak? Bapak enggak punya salah sama saya. Justru Bapak terlalu baik untuk saya."
"Humaira. Apa kamu marah karena kehadirannya?"
Entahlah, aku sendiri tidak tahu apakah aku marah dan cemburu terhadap wanita itu.
"Memangnya kenapa saya harus marah. Bukan hak saya marah pada Bapak. Apalagi hanya karena kehadiran Humaira. Sudah Hak Pak Hasan mau jalan sama siapa saja. Aku ini bukan siapa-siapa Bapak, jadi tidak punya hak untuk marah," terangku.
"Aku tahu kamu marah padaku. Dari tatapan mata dan sikapmu yang mengacuhkanku."
Aku memandang pria itu. Memang benar yang dia katakan. Aku berusaha untuk menghindarinya.
Aku hanya diam 'tak menjawab pertanyaannya.
Sesaat hening ....
"Humaira adalah tunangan saya."
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Aku memandang Pak Hasan yang duduk di depan kemudi. Pandangannya lurus ke depan menatap jalanan. Dia tampak serius dengan ucapannya.
"Kami saling mencintai sejak duduk di bangku SMA. Kami pun kuliah di Universitas yang sama. Hingga akhirnya kami akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Namun, sebulan sebelum pernikahan. Humaira mengakhiri pertunangan. Dia menjalin hubungan dengan pria lain yang lebih mapan."
Kisah cinta Pak Hasan mampir mirip dengan kisahku dan Mas Randi. Bedanya, aku dan Mas Randi sampai ke jenjang ke pernikahan.
"Dia kini berubah, dari segi penampilan dan sikapnya. Dia berubah total dari Humaira yang dulu aku kenal," terangnya.
"Apa dia sekarang sudah menikah?" tanyaku penasaran.
"Iya, dia menikah dengan Hanafi. Akan tetapi pada usia pernikahan ke lima bulan, Hanafi meninggal karena kecelakaan. Dia tadi menceritakan semuanya padaku."
Aku tidak tahu saat ini Pak Hasan dalam keadaan terluka atau justru bahagia dengan kehadiran Humaira. Perasaannya susah di tebak, karena dia bersikap seperti biasa saja.
"Apa Pak Hasan masih mencintainya?" Aku memandang Pak Hasan. Pria itu masih fokus berkonsentrasi memandang jalanan. Pak Hasan hanya diam tak menjawab pertanyaanku. "Bila Pak Hasan masih mencintainya, bawalah dia kembali pada Bapak. Jangan sampai Bapak menyesal di kemudian hari," saranku.
Pria itu sesaat memandangku lalu kembali menatap ke jalanan. "Ada wanita lain yang beberapa bulan ini mengisi hati dan pikiranku?"
Aku memandangnya tak percaya."Pasti beruntung sekali wanita itu, dicintai pria sebaik Bapak."
"Yang beruntung justru aku, jika bisa mendapatkannya."
"Bapak sudah menyatakan perasaan, kepadanya?"
Aku penasaran siapa wanita yang dicintai Pak Hasan. Pasti wanita itu sangat beruntung mendapatkan cinta Pak Hasan.
Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak yakin dia mau menerima cintaku.
"Kenapa? Bapak itu sempurna. Mana mungkin ada wanita yang menolak Bapak!"
"Seandainya kamu adalah wanita yang aku cintai, apakah kamu akan menerima cintaku?"
Aku memandangnya bingung. Tanpa terasa, mobil yang kami tumpangi tiba di halaman rumah.
Pak Hasan memandangku, seketika dadaku bergetar hebat. Aku pun menundukkan kepala untuk mengurangi getaran di dada. Tangan juga bergetar hebat.
"Reina, apakah kamu mau menjadi istriku?"
Aku memandang Pak Hasan. Dia pun memandangku.
"Tapi Pak, aku hanya seorang janda beranak dua. Aku tidak pantas untuk Bapak."
"Janda itu hanya sebuah status dan aku tidak itu. Aku mencetaimu karena sifat dan kepribadianmu," terangnya. Sungguh aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Masa idahku belum selesai, Pak. Aku belum boleh menikah lagi. Aku pun belum siap untuk kembali berumah tangga."
"Aku akan menunggumu, hingga kamu siap untuk menikah denganku. Aku tidak mengharapkan sebuah status yang bernama 'pacaran'. Kita sudah tidak muda lagi untuk hal itu, karena itu aku akan menunggumu hingga kau benar-benar siap untuk menjadi istriku." Dia terus saja meyakinkanku.
"Maaf Pak sudah malam, tidak enak kalau kita terlalu lama berduaan seperti ini. Saya takut akan ada fitnah yang timbul." Aku bergegas keluar dari mobil, membuka pintu belakang. Aku meraih tubuh Neli, menggendongnya yang masih terlelap secara perlahan.
Pak Hasan menggendong Nela.
"Aku akan menunggumu hingga kamu siap Reina," kata Pak Hasan yang berjalan di belakangku.Bersambung ....
Cerita ini sudah bisa dibaca sampai tamat di KBM Aplikasi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
RomanceReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...