Aku hanya diam, ‘tak menimpali perkataannya. Aku bergegas menuju kamar untuk menidurkan Neli, lalu kembali ke depan, mengambil alih Nela yang berada dalam gendongan Pak Hasan.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih juga untuk liburan hari ini.” Aku tidak mempersilakan Pak Hasan masuk ke dalam. Aku takut akan timbul fitnah kalau ada tetangga yang melihat.
“Jangan berterima kasih. Justru aku bahagia saat bersama kalian. Rei, pertimbangkanlah permintaanku. Aku akan menunggumu, hingga kau siap untuk kembali menikah. Aku pulang dulu. Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawabanku, Pak Hasan berjalan menuju mobilnya. Aku pun masuk ke dalam.
***
Selesai mandi dan Salat Isya, aku merebahkan diri di samping Nela dan Neli.
Pernyataan Pak Hasan terus saja berputar di pikiranku. Aku bingung harus memberi jawaban apa padanya. Dia memang pria yang baik dan penuh tanggung jawab. Namun, hatiku masih ragu untuk memulai cinta yang baru.
***
Tin ... tin ....
Suara klakson menghentikan langkahku.
“Assalamualaikum, Cantik.” Pak Mahmud menyapa Nela dan Neli.
“Wa’allaikum Salam, Kakek.”
Pak Hasan yang duduk di belakang turun. Hari ini pria itu memakai setelan jas berwarna abu-abu, kemeja putih, dan dasi hitam. Dia berjalan menghampiri, berjongkok di hadapan Nela dan Neli.
“Ada yang mau es krim?” tanyanya.
“Mau, Om,” jawab mereka kompak.
“Tapi tidak sekarang ya.” Pak Hasan tersenyum memandang mereka.
“Ya.” Terlihat raut kecewa di wajah Nela dan Neli.
“Sekarang Nela dan Nela berangkat sekolah dulu bareng Om, Nanti sepulang sekolah Om ajak kalian jalan-jalan dan beli es krim, setuju?” tanyanya.
“Setuju, Om,” jawab mereka kompak.
“Tos dulu, dong!” Mereka pun melakukan tos secara bergantian.
Pak Hasan menggandeng Nela dan Neli masuk mobil.
Aku hanya bisa memandang mereka, tanpa berkata apa-apa. Pak Hasan memang pandai merayu.
***
“Da, Sayang.” Pak Hasan melambaikan tangan pada Nela dan Neli yang berjalan masuk ke dalam sekolah.
“Pak.”
Pak Hasan menoleh padaku yang berdiri di sampingnya.
“Ada apa?” Dia memandangku heran.
“Seharusnya Bapak tidak perlu repot-repot seperti ini. Saya bisa mengantar jemput mereka sendiri.Kalau Bapak bersikap seperti ini, justru akan membuat saya tidak enak hati,” terangku.
Pak Hasan menarik napas panjang.“Rei, aku melakukan ini karena aku menyayangi mereka. Aku juga ingin lebih dekat dengan Nela dan Neli. Jujur, sejak pertama melihat mereka aku langsung jatuh cinta.”
Pak Hasan berjalan meninggalkanku yang masih berdiri terpaku.
Dia berbalik memandangku. “Ayo! Kamu mau berangkat bersamaku atau mau diam saja di sana.”
Aku hanya diam tak menimpali.
Namun, sungguh ‘tak di sangka pria itu kembali berjalan mendekat. Aku terkejut saat dia meraih tangan dan menarikku menuju mobil.
Selama di perjalanan tidak ada percakapan di antara kami. Sesekali aku memandang Pak Hasan yang tampak fokus memandang HP-nya.
***
Siang itu Raya dan Mas Randi datang untuk fiting baju pengantin. “Aku rasanya sudah tidak sabar untuk mencoba gaun pengantin kita,” ucapnya manja. Mas Randi hanya diam saja, mungkin pria itu merasa tidak enak hati padaku.
“Sebentar ya Kak, Aku ambilkan dulu.” Meisa berjalan untuk mengambil gaun pengantin yang di gantung dalam lemari kaca. “Ini.” Meisa menyerahkan gaun Pada Raya.
“Wah, sempurna sekali. Tidak sia-sia aku mengeluarkan uang yang lumayan untuk sebuah gaun pengantin,” ucapnya seraya melirikku.
Meisa juga memandangku. Dia pasti tahu bagaimana perasaanku saat ini.
Raya membawa gaun menuju ruang ganti untuk mencobanya. Beberapa saat kemudian, Raya keluar. Dia tampak, anggun, cantik dan sempurna mengenakan gaun itu. Pantas saja Mas Randi tergila-gila padanya.
“Bagaimana, Mas?” Raya berlenggak-lenggok di hadapan Mas Randi. Dia lantas mendekati Mas Randi, memegang pipinya, memamerkan kemesraan mereka di hadapanku. Raya juga melirikku dengan tatapan yang entah.
“Gaun ini sangat cocok untukmu,” ucap Mas Randi.
Sebenarnya hatiku remuk memandang kebersamaan mereka.
“Ini beskap untuk pengantin prianya.” Meisa memberikan beskap senada pada Mas Randi. Pria itu pun langsung membawanya ke ruang ganti dan kembali keluar sudah mengenakan beskap.
Mereka bersanding, memandang diri mereka di depan kaca. Mereka memang tampak sangat serasi.
“Mei, aku mau ambil air minum dulu di belakang.”
“Ada yang kepanasan tuh!” celetuk Raya. Dia memandangku sinis.
Aku keluar meninggalkan mereka. Mengambil air hanya alasan saja. Hatiku memang begitu teriris melihat kebersamaan mereka.
Aku belum bisa melupakan Mas Randi sepenuhnya. Melupakannya tak semudah saat mencintainya. Kenangan indah saat bersamanya terkadang kembali di putar ketika dalam kesendirian.
Aku duduk di meja makan dapur butik. Air mataku lolos begitu saja dari sudut mata.
Tanpa di sadari. “Kak Rei.”
Aku mendongak memandang seseorang yang berdiri di belakangku. Ternyata Sifa yang menghampiriku. Dia memegang pundakku. “Kamu menangisi pria itu.” Aku menggelengkan kepala. Dia pun duduk di sampingku.
“Jangan bohong, aku tahu kamu menangisinya. Kalau saran aku sih, cepat-cepat move on. Buang jauh-jauh tuh jambu biji dari hati dan pikiranmu,” celoteh Sifa.
“Jambu biji?” Aku mengernyitkan dahi memandang gadis itu, ‘tak paham, apa maksud perkataannya.
“Randi itu ibarat jambu biji.” Sifa mengambil sebuah apel dan pisau buah yang berada di atas meja dapur butik. Menggerak-gerakkannya di depan wajahku sambil berbicara. Rasanya ngeri dan ngilu melihatnya.“Dia itu, ibarat jambu biji di musim hujan, mulus pada kulitnya, Namun, busuk di dalamnya.” Sifa tertawa lepas.
Aku merasa terhibur dengan kehadiran gadis itu.
“Kamu ada-ada aja.” Aku mengambil pisau dari tangannya, meletakkannya kembali di atas meja. “Jangan suka main pisau, bahaya kalau kena. Apalagi kalau kena hidung kamu, bisa tambah pesek.” Aku menoel hidung Sifa. Aku pun tertawa seraya menutup mulut dengan tangan kanan, melihat gadis itu cemberut.
“Ih ... Kak Reina Jahat!” Sifa memonyongkan bibirnya. “Kalau aku sampai punya suami seperti dia, enggak bakal aku beri ampun!” Tangan Sifa menggigit apel, geram.
“Hust ... tidak baik menyimpan dendam,” ucapku memandang gadis itu.
“Kak Rei, kenapa tidak cari pacar baru saja.”
“Aku tidak ingin berpacaran. Apalagi aku ini hanya seorang janda, mana ada pria yang mau denganku.” Aku memandang Sifa.
“Jangan merendah seperti itu. Kalau aku lihat Pak Hasan sepertinya menyukamu, Kak,” celoteh gadis itu.
“Ngaco aja, kamu!”
“Ih, Beneran! Aku lihat dari tatapan mata Pak Hasan dan sikapnya kepada Kak Rei dan anak-anak Kak Rei, dia itu perhatian banget loh, sama kalian! ” ucapnya meyakinkan.
“Mana mungkin ... Pak Hasan itu terlalu sempurna buat aku.”
“Serius! Buktinya Pak Hasan sangat perhatian padamu.” Sifa menegakkan badannya. Dia berusaha meyakinkanku.
“Bukannya Pak Hasan mencintai Humaira ya?” Aku mencoba memancing Sifa agar dia mau memberi tahuku tentang masa lalu Pak Hasan dan Humaira.
“Iya. Dulu mereka bertunangan. Hampir setiap hari Pak Hasan dan Humaira datang ke butik untuk mengunjungi Meisa. Namun, sebulan sebelum pernikahan Humaira membatalkan pernikahan. Dia menikah dengan pria yang lebih mapan. Hal itu dia lakukan karena pria yang akan dia nikahi mau mendanai perusahaan ayah Humaira yang bangkrut saat itu,” jelas Sifa.
“Berarti dia meninggalkan Pak Hasan, bukan atas keinginan Humaira sendiri ya?” tanyaku penasaran.
“Begitulah cinta, deritanya tiada akhir,” jawab Sifa.
Aku menggelengkan kepala mendengar jawabannya. “Ada-ada saja.”
Kini Humaira kembali, mungkin saja Pak Hasan dan Humaira masih saling mencintai. Apalagi, Humaira menikah dengan pria itu bukan atas keinginannya sendiri.
“Ayo kerja, jangan mengobrol melulu, entar diomeli loh sama Meisa.” Aku menggandeng Sifa untuk kembali ke depan.
“Emang dari tadi Kak Rei, enggak mengobrol?” Kami berjalan bersama sambil tertawa.
Saat aku kembali ke ruangan, Raya dan Mas Randi masih berbicara dengan Meisa.
Aku kembali ke meja. Melanjutkan menjahit sebuah gamis model mermaid dengan bahan brokat yang di mix dengan kain satin.
Tak berselang lama mereka pun pamit untuk pulang. Mas Randi sempat memandangku saat lewat di hadapanku. Menyadari hal itu Raya menarik lengan Mas Randi dan mengamitnya.Bersambung ....
Cerita ini juga bisa dibaca sampai di KBM Aplikasi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
RomanceReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...