"Maukah kamu menemaniku ke rumah, Ayna?" pintanya.
"Baik, Pak."
Aku menerima tawarannya. Biasanya ada Pak Mahmud bersama kami, jadi aku tidak harus berjalan berdua saja dengannya.
Seminggu lagi adalah hari pernikahan Ayna-sahabat Pak Hasan. Mendengar nama Ayna, aku kembali teringat dengan nama Humaira. Ayna tempo hari pernah membicarakannya. Siapakah Humaira-wanita yang membuat Pak Hasan tak mampu pindah ke lain hati? Sebegitu spesialkah wanita itu untuknya.
"Baiklah, Pak saya buatkan kopi sebentar." Pria itu menganggukkan kepala.
Aku bergegas ke dapur untuk membuatkannya kopi. Aku masih ingat takaran kopi yang biasa Meisa buatkan untuknya. Setelah selesai aku bergegas kembali ke ruangan.
"Ini, Pak." Aku meletakan kopi di hadapannya.
"Suruh, Meisa untuk menyiapkan gaun Ayna. Setelah ini kita akan ke sana," perintahnya.
"Biar saya saja yang menyiapkan gaun Ayna. Meisa sedang sibuk di depan."
Aku bergegas mengemas gaun Ayna.
"Sudah siap semua, Rei?" Pak Hasan menghampiriku yang sedang berkemas.
"Sudah, Pak."
"Baiklah, ayo kita antarkan sekarang."
***
Pak Hasan membuka pintu belakang mobil. "Taruh di sana gaunnya." Dia menunjuk ke jok tengah. "Kamu duduk di depan," perintahnya.
"Kalau saya di depan, Bapak duduk di mana?" tanyaku heran.
"Aku yang mengemudikan mobil. Pak Mahmud sudah pulang. Ada keperluan mendadak katanya."
"Tapi, Pak ...."
"Aku tidak mau tampak seperti sopir pribadi, kamu. Ayo cepetan masuk," perintahnya.
Aku pun masuk ke dalam mobil. Ada rasa canggung saat duduk di sampingnya, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain.
***
"Kamu dan suamimu ada masalah apa?" Dia memandangku sesaat, lalu kembali menatap ke jalanan.
"Kami baik-baik saja," ucapku bohong. Siang itu jalannya senggang.Seharusnya kami mengantarkan gaun ke rumah Ayna pada sore hari. Akan tetapi, Pak Hasan meminta untuk mengantarkan siang itu juga, karena sore harinya ada keperluan.
"Apa suamimu, memiliki perempuan lain?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan Pak Hasan. Aku memandangnya yang sedang berkonsentrasi menatap jalanan.
"Aku tadi, ada di kafe yang sama denganmu. Aku juga melihat semuanya," terangnya.
Aku hanya diam tak menimpali perkataannya. Aku tidak tahu harus berbicara apa.
"Maaf, kalau aku mencampuri privasimu." Pak Hasan memandangku. Dia seperti merasa bersalah, telah mengatakan itu.
Aku bingung harus menjawab apa.
"Kenapa diam? Tidak apa-apa kalau kami tidak mau cerita."
Aku menundukkan kepala, menarik nafas panjang dan mulai menceritakan yang sebenarnya pada Pak Hasan."Lima bulan dia meninggalkanku dan anak-anak, demi wanita lain, yang lebih muda, cantik dan kaya. Insya Allah, aku akan segera menggugat cerai Mas Randi."
Pak Hasan kembali memandangku. "Apa tidak ada jalan lain, selain bercerai?"
Aku menggelengkan kepala.
"Kamu tidak ada pikiran untuk membawa suamimu kembali dan merebutnya kembali dari wanita itu?"
Sejenak Pak Hasan memandangku.
"Seandainya dia kembali padaku, rasanya akan berbeda. Sekali dia berkhianat mungkin suatu saat dia akan kembali melakukannya," terangku.
"Apa kamu sudah yakin!" tanyanya memastikan.
Aku menganggukkan kepala. "Tekadku sudah bulat untuk berpisah dengannya."
"Aku ada teman seorang pengacara. Kamu bisa meminta bantuannya untuk mengurus perceraianmu. Saya bisa antar kamu ke kantornya, jika kamu mau," tawarnya.
"Biar saya ke sana sendiri saja," tolakku. Aku tidak ingin merepotkan orang lain. Biarlah aku selesaikan semuanya sendiri.
"Baiklah, nanti biar aku kirim alamatnya ke nomor ponselmu."
"Terima kasih, Pak."
***
"Terima kasih, kalian sudah mengantarkan gaun pengantinku." Ayna menyambut kedatangan kami.
Rumah gadis itu sudah dihias dengan indah. Beraneka bunga sudah di rangkai untuk menghiasi setiap sudut rumah, ada bunga bakung, bunga krisan, bunga lili, dan bunga-bunga lainnya.
"Silakan duduk." Ayna mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Sofa mewah berwarna coklat dengan tepian berwarna gold. Rumah megah bergaya Eropa.
"Terima kasih."
Kami bertiga pun duduk. Aku duduk di samping Ayna, sedangkan Pak Hasan duduk di sofa lainnya.
"Kalian mau minum apa?" tawarnya.
"Siapa Ay." Terdengar suara seorang wanita di belakang kami.
"Teman aku, Kak," ucap Ayna memperkenalkan kami.
"Kamu!"
Aku dan wanita sama-sama terkejut. Dia menunjukku.
"Dunia ini memang sempit, ya! Dimana-mana lihatnya kamu, enek jadinya," ucap Raya bersedekap sambil bersandar kursi.
"Kakak kenal Reina?" tanya Ayna. Raya menganggukkan kepala.
"Oh ya, San, Rei." Ayna memandang kami bergantian. "Dia kakak sepupuku."
Pak Hasan memandangku, sepertinya dia tahu isi hatiku.
"Ay, kita pulang dulu, ya. Aku ada pertemuan sebentar lagi." Pak Hasan bangkit dari duduknya. Aku pun mengikutinya.
"Loh, kok buru-buru banget sih! Katanya entar sore, pertemuannya?" Ayna tampak kecewa.
"Mendadak, klien minta ketemu sekarang." Kami pun berjalan keluar.
***
Saat di mobil.
"Aku tahu kamu sudah tidak nyaman, di sana." Pria itu memandangku.
"Terima kasih, Pak." Aku tahu, pria itu berkata bohong pada mereka.
Akhirnya, aku menceritakan semua tentang hubungan Mas Randi dan Raya, pada Pak Hasan.
Aku meminta ijin padanya untuk mengambil libur, esok hari. Rencana aku akan menemui teman Pak Hasan untuk mengajukan gugatan cerai.
Pak Hasan menawarkan diri untuk menemaiku. Namun, aku menolaknya.
"Sudah jam tiga, aku antar kamu pulang saja, ya!" tawarnya.
Aku memandang Pak Hasan yang sedang berkonsentrasi mengemudi. Dia ternyata orang yang supel, berpikiran luas, dan enak di ajak bicara.
Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain. Akan tetapi Pak Hasan dia mau membantu untuk keluar dari zona tak nyaman yang sedang aku hadapi saat ini.
"Rei, mampir minimarket sebentar, ya. Ada sesuatu yang ingin aku beli."
Kami akhirnya turun di sebuah minimarket dengan berlogo biru.
"Ambil saja, apa pun yang kamu mau. Anggap saja sebagai bonus dariku."
"Tidak terima kasih, Pak," tolakku.
Dengan cekatan Pak mengambil beraneka jajanan serta satu dus susu UHT.
"Untuk keponakannya ya, Pak?" tanyaku heran. Pak Hasan sudah membawa satu troli penuh dengan beraneka ragam makanan ringan, roti dan susu.
"Bukan, ini untuk anak saya."
Aku menjadi bingung mendengar pernyataannya. Tempo hari Ayna dan Meis bilang Pak Hasan seorang jomlo. Sekarang, dia bilang belanja beraneka ragam makanan ringan dan susu untuk anaknya.
"Maafkan saya kalau saya lancang. Emang Bapak sudah punya anak? Kata Ayna dan Meisa, Bapak itu seorang jomlo."
Pak Hasan memantapku dengan tatapan entah.
"Sekali lagi maaf, ya Pak."
Aku kembali meminta maaf karena takut pria itu akan tersinggung dan marah padaku.
Dia menghentikan langkah pada saat kami berjalan beriringan menuju kasir. Dia menatapku. "Kata siapa aku jomlo?"
Dipandang Pak Hasan, seketika aku menjadi canggung. "Aku dengar dari Ayna dan Meisa."
"Mereka itu salah, jangan dengarkan mereka. Yang sebenarnya beberapa bulan Insya Allah aku akan menikah?"
"Loh, belum menikah kok sudah punya anak?" tanyaku heran.
Pria itu tak menimpali. Dia berjalan meninggalkanku yang masih dalam keadaan bingung dengan status hubungannya. Aku pun menepis segala pikiran yang berkecamuk dalam dada dan berjalan menyusulnya ke kasir.Bersambung ....
Cerita ini juga bisa dibaca sampai TAMAT di KBM Aplikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
RomanceReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...