Bab 42. Destination

15 3 0
                                    


Happy reading.

~
Tetap ceria, kalaupun harus sedih jangan lama dan jangan sampai gue lihat. Meski lo menerima perhatian dari gue, tapi ada perhatian lain yang lebih lo harapkan.

—Arifian

***

"NADIA," panggil Mama Santi. Nadia sedang sarapan menoleh.

"Ini kotak makan Keroppi-nya udah Mama cuci, ntar balikin ke yang punya."

"Kosongan, Ma?"

"Ya nggak lah, katamu Mamanya yang punya kotak ini bilang kalo wadahnya warna hijau berarti isinya sayur. Jadi, Mama juga gitu," jawab Santi.

"Lah, tapi kok aku makannya cuma sama telor ceplok pake kecap, doang?"

"Sayurnya belum Mama taruh meja, ini masih disini. Kamu sih, kepagian sarapannya."

Walah, Nadia menepuk jidat. Kenapa Mama tidak bilang kalau ada sayur. Kalau gini kan Nadia seperti paling ternistakan. Dan dia sudah biasa akan hal ini dimana Mamanya yang kadang tidak peduli dengan hal kecil dari Nadia. Tapi Nadia tetap membalasnya dengan cinta.

"Ambil nasi lagi, makan sama sayur, nih." Santi meletakkan semangkuk sayur yang dimasak oseng. Kemudian wanita itu berlalu lalang dari dapur ke meja makan guna menyiapkan sarapan.

"Enggak, udah kenyang. Kotaknya udah siap?"

"Udah ini."

Nadia menerima kotak makan lucu milik Arif yang sudah diisi kembali. Tidak mungkin ia mengembalikan kotak dengan kosong. Meski waktu itu Arif ngotot agar kotaknya tidak usah Nadia cucikan, tapi Nadia masih memiliki etika. Mana mungkin kotak milik Arif yang isinya dia habiskan lalu Arif sendiri yang harus mencuci. Sungguh Nadia sangat kejam jika hal itu terjadi.

"Eh, Bang Sandi mana?"

Santi terkikik geli sebelum menjawab, "Abang diajak Papa ke ladang."

"Kok mau?" Nadia tertawa.

"Dipaksa, kata Papa biar bisa bercocok tanam. Kemarin Papa beli bibit sawi, mau ditanam di ladang deket sekolah SD itu."

"Oalah," Nadia manggut-manggut. "Kenapa sayur nggak beli, aja?" tanya Nadia sambil memakai sepatu.

"Ya gimana, orang Papa hobi." Santi turut duduk disamping Nadia sambil menunggu suaminya dan putranya pulang untuk sarapan. Mereka sudah keluar sejak habis subuh tadi.

"Papa, 'kan, kenal sama tukang kebun SD-nya dan beliau ternak kambing. Kebetulan kandangnya mau dibedah, jadi sekalian Papa beli pupuk organiknya. Kata Papa, Abang Sandi ntar yang disuruh nebarin pupuknya."

"Hahah, sukurin." Nadia terbahak.

"Pertumbuhan sawi tuh nggak lama loh, Nad. Ntar kalo udah waktu panen Mama yang metik dan harus ngajak kamu."

Ekspresi Nadia berubah masam, "kok aku?"

"Papa yang bilang, lagian cuma metik nggak ada susahnya."

Love Is You [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang