Bab 25. Hati yang Terus Menunggu

37 4 0
                                    

Happy reading

~

Biarkan gue yang maju, bahkan kalo lo mundur juga nggak papa. Nanti lama-lama gue sadar kalo lo emang bukan buat gue.

-Arifian

***

JAM pelajaran olahraga kali ini Nadia sangat malas. Bukan kali ini sebenarnya, dia selalu malas tiap praktek olahraga. Jika sebagian anak lebih suka praktek dengan alasan bisa menghirup udara segar, maka Nadia lebih suka teori saja. Meski membosankan tapi setidaknya tidak melelahkan, apalagi kepanasan.

"Pak, olahraganya sesuka kita, aja, boleh nggak? Udah mau ujian masa olahraga terus, nanti kalo capek terus malah sakit. Besoknya nggak masuk sekolah dan nggak ikut simulasi sama tryout, siapa yang mau disalahin?" gerutu Naili, siswa paling lempeng mulutnya dikelas Nadia.

Beruntunglah Nadia punya teman sekelas yang asal jeplak macam Naili, ada perwakilan. Meski kadang menyakiti perasaan karena suka ceplas-ceplos, tapi bisa diandalkan juga disaat seperti ini. Merengek pada Pak Andri misalnya.

"Padahal saya sudah bawa bola basket ini. Harusnya kalian praktek men- dribble bola." Pak Andri tampak bingung.

"Ya kemarikan bolanya, nanti kita juga mau main basket kok, Pak."

"Tapi, mau saya nilai, tuh, Mbak."

"Dikasih tugas saja nanti Pak, kerjakan dirumah."

Pak Andri mengangguk setuju. Alhamdulillah, batin anak-anak termasuk Nadia. Ini salah satu enaknya pak Andri. Maksud Naili baik, dikasih tugas nanti kerjakan dirumah. Tapi jawabnnya searching di google. Hehe.

"Ya sudah ini bolanya, kalau jamnya udah habis langsung kembalikan. Nanti yang perempuan suruh ngajarin sama laki-laki. Ya, Mas?" Pak Andri bertanya pada gerombolan kaum adam.

"Ya, Pak."

Pak Andri kembali ke ruangannya. Semua menyebar. Ambyar. Ada yang ke kantin, ke kelas melanjutkan tidur. Ada pula yang berteduh, contohnya Nadia. Resti sudah asyik bermain basket bersama Naili tentunya dan beberapa anak cowok. Sebagian ada yang bermain volli, badminton, tenis meja, dan lainnya. Kebetulan jam pelajaran olahraga kelas Nadia bareng dengan adik kelasnya. Jadi bisa diadakan turnamen dadakan dengan adik kelas sebagai lawannya.

Nadia memilih duduk dibawah pohon rambutan menikmati teriknya matahari dan ramainya manusia, dengan botol minuman yang selalu ia bawa saat olahraga.

Kalau sendiri begini Nadia jadi ingat Alvan. Bagaimana cowok itu. Setelah tahu apa yang Nadia lakukan, bagaimana tanggapannya. Hanya ada dua kemungkinan. Alvan yang membalas perasaanya, tapi kedengarannya tidak mungkin. Atau Alvan akan menjauhinya, acuh. Tidak peduli sama sekali dengan perasaan Nadia.

Dari posisi Nadia pun juga hanya ada dua pilihan. Maju, terus mencintai Alvan dengan cara Nadia sendiri, bagaimana pun keadaanya. Atau mundur, menyerah dan pesimis lalu melupakan semuanya tentang Alvan. Kalau kata Resti, ia harus maju sedikit lagi. Sedangkan dirinya sendiri bimbang. Ah, bagaimana ini.

"Nad."

Ditengah keheningan ada yang memanggil Nadia. Ia menoleh. Ah, Arifian. Nadia tersenyum dibuat semanis mungkin.

Love Is You [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang