3 〙 sky

8 8 1
                                    

"Mama lembur."

Safa menghela napas panjang, memandangi layar ponselnya. Kemudian membuang benda itu ke tempat tidur.

"Terus?"

"Laper."

"Ayo cari makan!"

"Ayo!"

Setelah memakai jaket dan celana panjang, Safa keluar. Menunggu sahabatnya yang sedang mengambil jaket dan motor di rumahnya.

"Naik mobil?" tanya Safa saat yang dibawa Langit keluar dari rumahnya adalah mobil bukan motor merah kesayangannya.

"Ini udah malem. Nanti masuk angin kalau naik motor," jawabnya.

Safa tersenyum. Kemudian segera masuk.

Langit melajukan mobilnya menuju tempat makan terdekat. Di sepanjang perjalanan, hampir semua toko dan tempat makan sudah tutup, mengingat saat ini sudah hampir pukul sembilan malam.

"Mau makan di mana kita?" tanya Langit.

"Aku lagi pengen capcai."

"Ke tempat biasa ya berarti?"

Safa mengangguk setuju.

Dari kejauhan, warung capcai langganan masih buka dan untungnya sedang sepi. Jadi tidak perlu mencari tempat atau bahkan makan di mobil seperti pengalaman bulan lalu.

"Mas, capcai-nya dua sama es teh nya dua."

"Oke!"

Setelah memesan, Langit pergi ke tempat Safa duduk. Dia terlihat santai sambil memandangi kendaraan yang sedang berlalu lalang di jalan raya.

"Pengen apa lagi?" tanya Langit.

Safa menggeleng. Kemudian bertumpu dagu untuk menunggu pesanannya datang.

"Ky," panggil Safa lirih.

"Hmmm, ya?"

"Nggak terasa ya, udah lima tahun kita sahabatan," ucap Safa dengan tersenyum. "Kamu masih aja nggak berubah, masih baik terus ke aku."

Langit tersenyum, lalu mengangguk. "Masa aku harus berubah, jadi jahat gitu ke kamu? Kan nggak banget."

"Hahaha," Safa tertawa terkekeh.

Tak lama kemudian, si Mas penjual menaruh pesanan di meja. Setelah mengucapkan terima kasih, dia kembali masak untuk pembeli yang lain.

"Udah lima tahun juga kamu makan di tempat ini," ucap Langit.

"Iya. Itu juga dulu karena kamu yang ngajak."

"Maaf ya."

"Buat?"

"Maaf kalau setiap aku ngajak kamu jalan atau makan di luar, nggak sering di tempat mahal."

Safa tersenyum. "Nggak perlu di tempat mahal. Asal makanannya bersih dan enak aja udah cukup buat aku. Apalagi dari dulu kamu udah terlalu baik sama aku. Makasih banyak ya, Ky."

Langit mengangguk. "Eh-tunggu, aku kenal kalimat pertama yang kamu ucapin tadi. Kayak punya siapa gitu?"

"Haha, iya deh, punyamu."

"Aku seneng kamu inget."

"Selalu."

☁︎

Sepulang dari tempat makan capcai, Langit tidak langsung pulang, melainkan hanya memarkirkan mobil saja, lalu pergi ke rumah Safa.

Di ruang tengah.

"TV nya aku nyalain ya, Sa!"

Tak lama, Safa menyahut. "Iya!"

"Langit! Udah malem jangan teriak-teriak!" ucap seseorang tiba-tiba.

Langit terjaga. "Tante?!"

"Iya, Tante. Siapa lagi memangnya?"

"Aku kira kuntilanak. Eh-"

Riani melotot. Sedang Langit yang keceplosan langsung menutup mulutnya sendiri. Dari lantai dua, Safa yang melihat itu hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi ibu dan sahabatnya.

"Maaf Tante, aku kira Tante nggak ada di rumah. Kata Safa lagi lembur."

"Terus, kalau Tante lagi nggak di rumah. Kamu seenaknya teriak-teriak di rumah orang?"

Langit mengernyit, "Loh, bukannya Tante sendiri yang bilang 'Langit, anggap saja rumah Safa ini rumah kamu sendiri'? Jadi, aku bebas dong teriak-teriak di rumah ini. Kan, udah aku anggap rumah sendiri," ucap Langit sambil menaik turunkan alisnya dengan menirukan gaya bicara Riani.

"Dasar kamu!"

"Hahaha, ampun, Tan." Langit tertawa.

"Kalian dari mana sih?" tanya Riani.

Langit tersenyum jail. "Ih, Tante kepo."

"Langit!"

"Dari luar, habis makan capcai."

"Tante nggak dibeliin?"

"Emang Tante nitip?"

"Kalau pun enggak, kamu nggak ada inisiatif buat beliin Tante?" tanya Riani dengan nada memelas.

"Maaf Tante, aku pikir Tante lembur sampe subuh. Jadi sayang aja kalau capcai-nya nggak ke makan," balas Langit tak kalah memelasnya.

Beberapa saat kemudian.

"Sayang?!" sapa Riani ketika melihat sang putri berjalan menuruni tangga.

"Ah, Mama! Safa kangen," ucap Safa sambil memeluk sang mama layaknya ibu dan anak yang tak bertemu selama bertahun-tahun.

"Mama juga kangen banget sama kamu, sayang," balas Riani sambil mengeratkan pelukan Safa. "Oh, iya, Kamu udah makan?"

"Udah."

"Udah minum?"

"Udah juga."

"Udah bersih-bersih?"

"Udah kok, baru aja."

"Oke, sekarang waktunya bobok," ucap Riani.

Drama.

Langit yang melihatnya hanya diam, dia memijit keningnya karena pening melihat tingkah ibu dan anak yang tak pernah berubah sejak ia mengenal keluarga mereka.

"Tante! Tante! Anaknya udah bukan orok lagi, kaleek. Ngapain masih digituin sih? Heran, deh sama kalian berdua," ucap Langit.

"Sirik aja lu!" balas Riani.

Safa tersenyum jail. "Langit juga mau digituin tuh sama Mama!"

"Idih, ogah banget!"

Safa dan Riani tertawa.

"Ya udah deh, Safa juga udah ada temennya di rumah. Langit pulang dulu ya, Tante."

"Makasih ya, Langit. Udah mau temenin dan jagain anak Tante. Kamu emang anak yang baik."

"Hm. Masa-masa, Tan."

"Sama-sama, kaleek!" ralat Riani.

"Hahaha," Langit tertawa.

"Makasih, Ky," kata Safa.

Langit tersenyum mengangguk.

Kemudian beranjak pergi. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."


ִ    ֗    ִ ˑ    ִ    ֗    ִ ˑ    ִ    ֗    ִˑ    ִ    ֗    ִ ˑ    ֗   ִ ˑ    ֗  

BAB 3 〙758  Kata

Draf : 2 Juni 2021
Dipublikasikan : 7 Juni 2021

〘 VOTE 〙〘 KRISAR 〙

#stoplagiat

Swipe Up!
to next story

sky [New Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang