Selin banyak bercerita waktu kecil dulu Sadina dan Sajaka sangat dekat. Mereka satu sekolah dari TK sampai kelas 3 SD. Sadina mencoba membayangkan bagaimana kedekatan mereka sesuai cerita Selin yang seru. Aneh, semua ingatan berhenti pada satu momen dimana Sajaka pergi dan tak pernah kembali.Sebenarnya Sadina tidak sepenuhnya lupa soal Sajaka. Terutama karena Selin menjadi orang yang paling dekat dengan keluarga Sadina. Makanya Sadina lebih memilih ikut Selin dari pada tinggal dengan paman sendiri. Selain ibunya telah mempercayakan Sadina pada Selin, Sadina juga merasa Selin akan menjaganya seperti selama ini.
Setiap berkunjung ke rumah mereka, Selin pasti menceritakan perkembangan putra kebanggaannya. Sadina banyak mendengar Sajaka tumbuh menjadi anak yang keren. Ia kagum kehidupan teman masa kecilnya terdengar sangat seru dan menyenangkan. Berbeda jauh dengannya.
Ketika pertama masuk ke rumah Selin dan melihat begitu banyak piala dan piagam penghargaan milik Sajaka, Sadina semakin tidak percaya diri. Mendadak ia menyesali keputusannya ikut Selin. Ia takut bertemu Sajaka.
Waktu berpengaruh besar terhadap perubahan sikap seseorang, kan?
Mungkin Sajaka sekarang tak seperti Sajaka teman masa kecilnya dulu. Mungkin Sajaka sekarang akan jauh-jauh dari Sadina karena terlalu canggung. Sadina memaklumi. Teman-temannya di sekolah lama sering minggat tiba-tiba jika kebetulan duduk di samping Sadina. Mereka menghindari kecanggungan karena Sadina diamnya benar-benar diam.
Anehnya semua pemikiran Sadina salah. Justru Sajaka selalu berusaha mendekatinya. Setiap ada apa-apa seperti mengetuk pintu kamar mengabari waktunya makan makan, ngajak nonton film bareng, ngasih kabar Deka pulang bawa makanan enak, membantu Sadina dalam hal pelajaran dengan meminjamkan semua buku catatan, kalau tidak mengetuk pintu Sajaka mengirim pesan bertanya apa Sadina sudah mengerjakan PR untuk besok atau belum ..., semua interaksi mereka paling sering diawali oleh Sajaka.
Cara Sajaka mengakrabkan diri membuat Sadina nyaman. Sajaka berusaha selalu ada, tidak memaksakan apa yang menurutnya benar untuk Sadina, dan yang paling penting Sajaka sangat sabar. Kebanyakan Sadina hanya bagian mengangguk, geleng-geleng, bilang "iya" dan "tidak" saja. Jika itu bukan Sajaka, pasti sudah dari jauh-jauh hari meninggalkan Sadina.
Sadina juga heran sama mulutnya itu kok susah banget bersuara. Padahal di depan mendiang ibunya, Sadina cerewet. Segala hal Sadina ceritakan pada ibunya.
Kini untuk pertama kali sejak menginjakkan kaki di rumah keluarga Argajaya, Sadina merasa sangat asing.
Seharian Sajaka mendiamkannya. Menghindar setiap ketidaksengajaan membuat mereka saling bertatapan sesaat. Menjauh jika ruangan tempatnya berada didatangi Sadina.
Sadina menghela napas. Hari ini begitu sepi. Pintu kamar tampak kehilangan juga. Biasanya seseorang mengetuknya sambil bilang, "Sadina, di dalam?"
Suara berat itu mendadak jadi merdu di situasi ini.
Sadina menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Tubuhnya agak terpantul. Ia mengangkat ponselnya ke depan muka.
Benda itu mati total, jadinya Sadina tidak bisa meminta pendapat teman-teman di forum online mengenai Sajaka. Di saat buntu begini mereka suka memberi solusi.
Sangat disayangkan hari ini Minggu. Ia tidak punya alasan keluar rumah. Kemungkinan ponsel ini baru bisa diperbaiki Senin. Setelah pulang sekolah, Sadina akan mampir ke konter. Sudah beberapa hari Selin berhenti menjemputnya di sekolah, ini memudahkan Sadina bepergian tanpa diketahui.
"Sadina?"
Pintu kamar terbuka. Sadina gelagapan menyembunyikan ponselnya yang rusak, lalu bangkit.
"Sedang apa? Boleh Tante masuk?"
Selin ini ....
Sadina kan menumpang di rumahnya ya, tapi perlakuan Selin pada Sadina tidak seperti pada tamu. Malah mereka seolah sengaja membagi apa yang Sajaka punya ke Sadina. Terkadang Sadina berpikir, ini berlebihan tidak sih? Ini tidak apa-apa, kan?"Ada apa, Tante?"
"Nggak ada yang serius, sih. Tante cuma mau bilang besok kita diundang ke acara makan malam temannya Om Deka. Kalau tahunya mendadak nanti Sadina kaget."
"Sadina ikut juga, Tan?"
Selin mengelus rambut panjang Sadina, "Iya, dong. Sadina kan anak kami."
Berat.
Makin berat saja nanti balas budi yang harus Sadina bayar pada keluarga ini.
***
Sebelum hujan turun dan ketinggalan bis kota di halte sekolah, Sadina buru-buru ke konter terdekat. Pegawai disana mempertimbangkan berapa lama memperbaiki ponsel Sadina. Rupanya rusaknya lumayan parah. Sadina baru bisa mengambil ponsel itu kembali besok sore.
Sadina tiba di rumah Argajaya tepat saat hujan mengguyur Bandung. Tak berapa lama Deka juga pulang dari kantor. Sambil menunggu Sajaka pulang dari sekolah, Selin meminta Sadina memilih baju di kamar.
Berjalan dari lantai satu ke lantai dua, pikiran Sadina penuh. Ia bingun kira-kira pakaian mana miliknya yang cocok dipakai ke acara makan malam temannya Deka. Mengingat bagaimana gaya hidup keluarga ini, Sadina sangsi baju miliknya ada yang layak.
Begitu masuk kamar. Sadina mematung di ambang pintu. Tempat tidurnya berubah menjadi arena berbaring tas-tas belanjaan.
"Semuanya lucu, Tante kalap beli semua. Sadina suka yang mana?" Selin melangkah masuk.
Sementara Sadina ternganga, "Tante ... beli sebanyak ini?"
Bukan hanya di atas tempat tidur, ternyata lantai samping tempat tidur masih ada beberapa tas belanjaan.
"Iya, lucu-lucu, kan? Sadina suka yang mana? Ini lucu, nih. Ini juga, ini, ini, semuanya bagus dipakai Dina."
Selin mengeluarkan satu per satu barang belanjaannya. Sadina menelan ludah, entah berapa uang semua itu.
***
Sajaka melepas dasi kupu-kupu di kerah kemejanya. Senyum Deka tersungging melihat putra sudah punya gaya sendiri.
"Sajaka, kancing kerahnya dilepas?"
Mendapatkan layangan protes dari sang ibu, Sajaka berdecak samar, "Berasa dicekik, Ma."
"Tapi ini nggak rapi, Sajaka .... Ini juga kamu kemanakan dasinya?"
"Nggak usah pakai dasi lah, Ma. Gerah, nggak nyaman, sesak."
"Tapi--"
Sentuhan di pundaknya berhasil menghentikan Selin. Deka tersenyum lembut, "Anak kita sudah besar. Biarkan dia dengan gayanya sendiri."
Selin hendak melepaskan diri dari Deka, tetapi embusan hangat dalam bisikan pria itu menghentikannya, "Ada yang lebih penting dari dasi dan kancing saat ini. You turned my world."
"Hadeh ...." Sajaka memutar bola mata.
Kedua orang tuanya saling senyum, melempar tatapan hangat. Lagi-lagi mereka tak mempertimbangkan tempat kala bermesraan.
Mungkin begitu cara keduanya menjaga kasih sayang tetap hadir. Kabarnya sesuatu yang dipelihara dengan baik akan berumur panjang. Mungkin itu juga berlaku dengan cinta dan kasih sayang.
Tak lama Sajaka tertegun. Jika Deka mengatakan Selin telah mengalihkan dunianya hanya sekadar gombalan. Malam itu dunia Sajaka yang yang betulan teralihkan. Entah apa nama dunia barunya itu.
Ia sampai tak berkedip memandangi Sadina melangkah anggun menuruni tangga. Seolah baru saja menyaksikan bidadari turun dari langit.
Selin dan Deka saling menyenggol siku, sadar raut muka putra mereka sangat menggemaskan.
===Fake Protagonist==
[Makasii dukungannya🤗
Semoga hari-harimu menyenangkan.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Protagonist
Mystery / ThrillerSadina hidup sendirian setelah ibunya meninggal dunia. Kemudian orang-orang baik hati mengulurkan tangan padanya. Mereka memperlakukan Sadina seolah putri tunggal di rumah itu. Namun, lama-lama sikap mereka semakin tidak wajar. Sadina menyadari terl...