Selin perhatikan dari awal Sadina turun lantai dua kemudian duduk di ruang makan, gadis itu tampak sedang memikirkan banyak hal rumit. Raut mukanya kusut. Biasanya sebelum sarapan atau makan malam, Sadina akan membantu Selin di dapur. Ya minimal menata makanan di meja. Bukannya Selin berharap hari ini juga ia dibantu. Ini sudah menjadi tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga selama hampir seperempat abad. Selin hanya khawatir dengan mendung di sekitar Sadina.
Deka yang duduk di dekat Sadina juga tidak bisa diharapkan. Bapak dua anak itu sibuk dengan ipad-nya, membaca koran digital di pagi hari. Mungkin pria di muka bumi memang kurang peka semua. Mereka bukan tipe makhluk yang ambil inisiatif terlebih dahulu. Kalau dipikir-pikir, ketidakpekaan Deka masih sama dengan waktu mereka belum menikah.
Selin menghela napas. Mambawa roti gandum tiga lapis isi selai coklat ke depan Sadina. Gadis itu agak tersentak dengan sentuhan di bahunya. Begitu menoleh, ia mendapati pertanyaan Selin yang tanpa suara. Sadina memaksakan senyum sambil menggeleng pelan.
Tak lama suara hentakan langkah kaki menuruni tangga terdengar. Sebelum suara Selin menyapa orang itu untuk segera sarapan sebelum berangkat sekolah, Sadina sudah tahu siapa yang turun dari lantai dua. Perasaan Sadina benar-benar berdebar. Kali ini bukan jenis berdebar karena seseorang yang disukai, melainkan debaran kacau karena rasa penasaran. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan perkataan Sajaka. Sadina ingin meminta penjelasan lebih, tetapi Sajaka seolah sengaja menggantung semuanya. Sajaka mengunci kamar, juga mematikan ponsel. Itu membuat Sadina frustrasi sendiri.
Sampai akhirnya pagi ini tiba. Rasanya Sadina ingin cepat menghabiskan sarapan, lalu bicara dengan Sajaka. Walau sebentar saja, tidak apa-apa. Asal ada sedikit kejelasan dari mulut Sajaka.
Kursi di seberang Sadina berderit. Sajaka duduk di sana, hanya saja tidak seperti biasa cowok itu menghindari bersitatal dengan Sadina. Walau begitu Sadina tak patah semangat, sesekali melirik Sajaka yang memakan roti dengan lambat. Sadina yakin ini hanya akal-akalan Sajaka agar bisa menghindarinya.
"Sadina, sarapannya sudah selesai?" Deka berdiri merapikan kemeja. Papanya Sajaka ini selalu paling cepat menghabiskan makanan. Selin keluar dari kamar membawa tas kerja Deka di tangan.
"Sudah, Om. Berangkat sekarang?"
Sadina berdiri dengan berat hati. Tandanya ia tidak punya kesempatan bicara dengan Sajaka hari ini. Mereka tidak bicara selain ketika di dalam rumah. Di luar rumah benar-benar seperti dua orang asing.
Sengaja Sadina mendorong mundur kursi dengan pelan. Berharap Sajaka menghentikannya dan mau melanjutkan pembicaraan mereka tadi malam. Sebab menurut Sadina, masih banyak hal yang belum Sajaka katakan. Sadina juga heran dari mana Sajaka bisa tahu tentang lambang dan website pertemanan online yang Sadina masuki. Selama ini Sadina tidak pernah mengatakan apa-apa pada siapa pun. Ya ..., selain memang karena tidak punya tempat bercerita.
Sebelum resmi keluar dari rumah, di ambang pintu sekali lagi Sadina menoleh ke belakang. Sajaka masih saja pura-pura sibuk memakan sarapan. Tumben sekali dia lama memakan sesuatu. Malah Sadina lihat tadi gigitannya kecil-kecil.
Suara Deka meminta Sadina segera masuk ke dalam mobil menginterupsi. Sadina berlari kecil melintasi teras rumah, "Iya, Om!"
Begitu Sadina hilang dari ambang pintu, lalu deru mobil bergerak meninggalkan halaman rumah. Saat itu Sajaka menghela napas. Sungguh berat baginya mengabaikan Sadina yang duduk di dahapannya. Namun bagaimana lagi?
Dari cara gadis itu mengawasi Sajaka, terlalu kentara Sadina menantikan sesuatu. Ini akibat salah Sajaka juga. Kalau saja tadi malam ia bisa mengendalikan diri, pasti yang keluar mulutnya bukan hal itu. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah Sajaka bilang pada siapa pun selain keluarga.
Sekali lagi Sajaka menghela napas. Dia berdiri menyangklungkan tali tas di bahu kanan. Bertepatan dengan kembalinya Selin dari depan rumah, Sajaka meminum segelas air sebelum pergi.
"Sajaka berangkat dulu, Ma." Sajaka pamit mencium tangan ibunya.
Selin balas mengusap rambut putra kesayangan. "Sajaka?"
Sajaka mendongak, tepat menatap netra Selin yang di balik kelembutannya itu terasa misteri.
"Kamu mulai dekat dengan Sadina. Mama cuma mau memastikan sesuatu. Kamu nggak menceritakan hal aneh pada Sadina, kan?"
==FAKE PROTAGONIST==
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Protagonist
Mystery / ThrillerSadina hidup sendirian setelah ibunya meninggal dunia. Kemudian orang-orang baik hati mengulurkan tangan padanya. Mereka memperlakukan Sadina seolah putri tunggal di rumah itu. Namun, lama-lama sikap mereka semakin tidak wajar. Sadina menyadari terl...