Bab 11

26 8 33
                                    


Turun dari taksi online, Sadina mengikuti langkah lebar Sajaka memasuki halaman rumah. Sajaka terus berjalan ke teras rumah dan mengangkat salah satu pot bunga kesangan Selin. Selama tinggal di sana tak menyangka di bawah pot itu tersimpan kunci. Mereka membuka pintu dengan menggunakan kunci itu karena tidak pulang bersama Selin dan Deka.

Masuk ke dalam rumah, Sajaka langsung ke arah dapur. Mengambil minuman dingin dari lemari pendingin. Sadina agak ragu pergi ke kamarnya di lantai atas. Ia berdiri canggung sambil memerhatikan Sajaka sampai selesai minum. Sepertinya ada yang harus mereka bicarakan.

Sajaka mengambil minuman lain dari lemari pendingin dan mengulurkannya. Sadina menggelengkan kepala, dirinya tidak sedang ingin minum.

“Lain kali kalau Mama atau Papa ngajak ke suatu tempat, tanya dulu itu acara apa.” Sajaka berjalan mengitari mini bar habis menutup lemari pendingin. Ia berhenti di depan Sadina yang menunduk. “Kenapa tadi diem aja? Perlakuan mereka salah, kan?”

Sadina mengakui perlakuan orang tua Sajaka dan temannya terkesan menganggap ini bukan masalah besar. Mereka begitu enteng mengatakan sambil tertawa bahwa Sadina memiliki seorang kakak seayah. Bahkan selama belasan tahun Sadina tak merasakan kehadiran seorang ayah. Sadina sangat terkejut mengetahui ayahnya memiliki anak dari wanita lain. Ibunya belum pernah menceritakan soal ini.

“Jangan dulu mikirin soal Mama dan Papa, mereka orang tua gue, Din. Mereka orang lain yang nggak tahu gimana perasaan lo sebenarnya. Sebelum memikirkan perkataan orang, dengar dulu apa kata hati sendiri.”

Sadina mendongak, ingin bilang, “Jaka ..., aku tinggal di rumah orang tua kamu. Kebaikan mereka sama aku selama ini sangat besar. Dengan menyenangkan perasaan mereka dan nurut perkataan mereka, aku pikir bisa membalas kebaikan mereka sedikit-sedikit.”. Entah kenapa setiap berhadapan dengan Sajaka, perkataan panjang seperti itu selalu tertelan kembali. Sadina selalu tanpa kata, terlalu hati-hati, seolah ucapannya bisa tidak terkontrol dan menyakiti orang lain.

Sajaka menghela napas, merasakan kegundahan cewek di hadapannya. Kebingungan dan segala kesedihan yang tak bisa diungkapkan terlalu jelas terpampang di kedua bola mata Sadina yang berair. Sajaka menyerah, mana tega mengintimidasi makhluk rapuh ini lebih jauh.

Dari pada melihat Sadina nangis, Sajaka mengusap pelan pucuk kepala Sadina dan berkata dengan selembut mungkin, “Masuk kamar, jangan mikir kejadian tadi, dan istirahat.”

Begitu tangan usapan menjauh dari kepalanya, Sadina sepenuhnya terpaku dengan senyuman Sajaka. Dalam beberapa detik sebuah pemikiran terlintas. Bagaimana bisa Sajaka sepengertian ini padahal mereka belum lama mengenal?

***

Kemarin sebelum pergi tidur, Sajaka sempat bertanya mengapa ponsel Sadina tidak aktif akhir-akhir ini. Beruntung Sadina bisa memberi alasan yang cukup masuk diakal kalau ia sedang fokus dengan Ujian Tengah Semester jadi sering mematikan ponsel. Sajaka tidak bertanya apa-apa lain.

Sadina sadar tidak mungkin ia memakai alasan yang sama seterusnya. Besok-besok pasti Selin dan Deka juga menanyakan hal yang sama. Kalau sampai mereka tahu, besar kemungkinan Sadina akan dibelikan ponsel baru. Sudah terlalu banyak hal yang diberikan keluarga ini. Sadina takut tak bisa membalasnya.

Selain itu setiap hari Deral menghubunginya mungkin akan mulai curiga beberapa hari pesan dan teleponnya tidak dijawab. Kakaknya ini panikan. Apa-apa selalu dipikirkan berlebihan. Meski sebenarnya Sadina tidak keberatan dengan sikap berlebihan Deral, malah senang.

Sedang memikirkan alasan agar tidak Deral marah karena tidak ada kabar, Sadina jadi teringat sesuatu. Apa Deral mengetahui tentang Haradisa?

Tidak seperti biasanya mendadak Sadina ingin buru-buru ponselnya cepat diperbaiki. Ia ingin menghubungi Deral.

Sore itu guru mata pelajaran matematika menjebak semua murid di kelas lebih lama. Mereka boleh pulang jika sudah menjawab seluruh soal latihan. Otomatis Sadina harus menunda sedikit lebih lama untuk mengambil ponselnya di tempat servis.

Berbeda dari kebanyakan orang di kelas yang menganggap soal-soal itu sangat sulit. Sajaka jadi orang pertama yang mengumpulkan lembar jawaban. Sebenarnya ia ingin membantu Sadina. Tempat duduk mereka berdekatan, tapi masalah besar akan timbul nanti jika Sajaka memberi jawaban. Teman-temannya yang lain akan memintanya juga. Sajaka malas kalau sampai mereka ketagihan di ulangan-ulangan lainnya meminta jawaban Sajaka.

Anehnya Sajaka merasa kegelisahan Sadina bukan karena soal ulangan. Seperti ada hal lain sedang mengganggu. Maka usai keluar kelas, ia tak langsung pulang. Sajaka menunggu Sadina di depan kelas. Ketika Sadina keluar dari kelas, langkah kakinya tampak terburu-buru sampai tak menyadari kehadiran Sajaka di sana.

Sajaka mengikuti ke mana Sadina pergi. Begitu terheran ternyata Sadina pergi ke tempat servis ponsel di dekat sekolah. Dari kejauhan Sajaka melihat Sadina menerima ponsel dari pegawai di sana. Mereka melakukan sebuah transaksi. Seperti yang Sajaka curigai selama ini, Sadina menyembunyikan sesuatu.

Ingin sekali Sajaka memergoki Sadina di sana. Sekuat mungkin ia menahan diri sampai Sadina pergi meninggalkan tempat itu. Barulah Sajaka keluar dari tempat persembunyian.

“Ada yang bisa dibantu?” Pegawai tadi tersenyum ramah menyambut Sajaka.

==Fake Protagonist==

[Kayaknya cerita ini bakal pendek.
Makasii dukungannya ya.
Semoga bahagia dan sehat selalu. ]

Fake ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang