Gorden yang berkumpul di sisi kanan membiarkan cahaya matahari merangkak masuk hingga mengenai tepi ruangan. Suara ketukan terdengar dari balik pintu. Sejak kemarin silih berganti ada yang mengetuk pintu, setelah hening sepanjang malam, ketukan itu hadir kembali. Kali ini suara Deral yang meminta adiknya keluar kamar.Sadina tak menggubris, terus bersembunyi di dalam kegelapan lemari. Kehilangan ibu menjadi babak baru dalam hidupnya. Ia belum bisa menerima ini nyata atau mimpi. Semalaman menangis di dalam ruang sempit dan gelap tidak membuat kekosongan di dalam hatinya sirna. Sadina malah tambah ketakutan. Di saat seperti ini biasanya ia mendapatkan pelukan hangat yang menenangkan. Sekarang pemberi pelukan itu telah pergi untuk selamanya.
"Sadina ...," panggil Deral lemah.
Pemuda berkulit putih itu menempelkan kening di pintu. Ia bertanggungjawab menjaga Sadina setelah kedua orang tuanya tiada. Keadaan mereka sama-sama yatim-piatu. Berduka ditinggalkan orang tersayang yang dijadikan sandaran hidup, Deral paham betul bagaimana rasanya. Kedua orang tuanya juga telah tiada dari lama.
"Nana, ayo keluar. Dari kemarin pagi belum makan. Ini Deral."
Di sela pintu lemari yang sedikit terbuka, Sadina mengintip keadaan luar. Sadina bukan tega terus mengabaikan kakak sepupunya. Deral begitu perhatian, tetapi yang Sadina butuhkan hanya waktu sendiri. Ia takut jika melangkah keluar lemari yang memberinya rasa aman, kenangan bersama ibu di setiap sudut rumah akan menghancurkannya.
Sadina mengusap lelehan air mata di selasar pipi. Tangannya menarik kembali pintu lemari hingga tertutup rapat.
"Maaf, Kak Dei."
Di luar sana Deral masih berdiri di depan kamar. Bingung harus melakukan apa lagi agar adiknya mau menampakkan diri.
Bahunya ditepuk seseorang, saat menoleh ternyata itu Selin, sahabat dari ibunya Sadina. Deral memberikan gelengan kepala.
"Sadina terpukul sekali dengan kehilangan ibunya. Mereka sangat dekat. Akan butuh waktu menerima semua tak lagi sama."
Tak lagi sama ....
Pandangan Deral lantas tertuju pada potret dua manusia yang menggantung di dinding. Sadina dan ibunya tersenyum lebar ke arah kamera. Kedekatan kedua perempuan berbeda generasi itu lebih terlihat seperti teman dekat daripada ibu dan putrinya. Bagi Sadina kehilangan ibu sama dengan kehilangan bagian hidup.
"Kamu sudah memikirkan bagaimana Sadina setelah ini?" Selin menarik perhatian Deral dari lamunan.
Deral tak serta-merta menjawab. Sesungguhnya belum terpikir sampai sana. Sejak sang tante meninggal dunia, Deral mengurus segala keperluan pemakaman dan acara setelahnya. Deral bahkan belum benar-benar istirahat. Garis hitam di bawah mata menandakan ia kurang tidur.
Sekali lagi Deral menggeleng lemah. Bagaimana bisa ia memikirkan nasib orang lain saat diri sendiri tak tentu arah?
"Kerabat dari ayahnya Sadina bilang siap menjaga Sadina. Mungkin mereka akan membawanya tinggal bersama."
Selin menatap sepasang suami-istri di teras rumah. Dari pintu yang terbuka lebar ia menyaksikan sendiri bagaimana pasangan itu pura-pura berduka. Tangis mereka berlebihan, seolah mereka paling dekat dengan keluarga mendiang. Dari dulu mereka tidak pernah tulus pada keluarga ini.
Selin menghela napas, jadi teringat saat Sadina berusia 13 tahun. Mereka datang membawa surat pengalihan ahli waris dan memaksa anak kecil menandatanganinya. Sadina tak pernah mendapatkan apa pun dari ayahnya. Mereka merenggut hak anak itu.
"Tante tidak percaya mereka," ujar Selin, resmi mendapatkan tatapan heran Deral. Selin mengendikkan bahu enteng. "Kalau kamu tidak keberatan, akan lebih baik Sadina ikut kami saja. Dia sudah seperti putri tante sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Protagonist
Misteri / ThrillerSadina hidup sendirian setelah ibunya meninggal dunia. Kemudian orang-orang baik hati mengulurkan tangan padanya. Mereka memperlakukan Sadina seolah putri tunggal di rumah itu. Namun, lama-lama sikap mereka semakin tidak wajar. Sadina menyadari terl...