Bab 27

11 2 0
                                    

"Dari mana saja kamu?"

Langkah Sajaka terhenti. Baru saja beberapa langkah ia lewati ruang tengah yang dikira sepi. Ternyata sang ayah yakni Deka menunggu di sana. Deka berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Sajaka memerhatikan penampilan putra bungsunya dengan seksama.

"Apa yang kamu kerjakan di luar sampai baru pulang jam segini?" tanya Deka lagi.

Pandangan Sajaka masih belum sepenuhnya tertuju pada Deka. Ubin lantai seolah lebih menarik perhatian Sajaka.

"Sajaka, Papa bertanya sama kamu."

Tetap saja tidak didapatkan jawaban. Sajaka hanya mendongak, menatap langsung netra Deka. Namun dari tatapan sayu itu, Deka cukup mengetahui putranya kelihatan sangat lelah. Jam dinding menunjukan angka 10 ketika Deka menoleh. Jika ada Selin di situ, pasti masalah ini akan panjang lebar sampai besok subuh. Biasanya Selin baru akan berhenti mengintrogasi kalau sudah mendapatkan jawaban jujur. Tadi Deka berbohong kalau anak mereka sudah meminta izin akan pulang malam karena acara sekolah.

Deka hanya punya keyakinan Sajaka akan menjelaskannya nanti.

"Mandi, terus istirahat sana. Mamamu sudha tidur nggak akan marah-marah sekarang. Paling besok kalau dia tahu seseatu tentang kamu--Papa nggak bisa bantu." Deka mengusap bahu Sajaka, lalu memberi sedikit tepukan. "Sana, istirahat--tunggu."

Deka baru menyadari darah yang menghitam melumuri tangan Sajaka. Luka di sana sudah mengering, tetapi masih mengerikan.

"Apa ini, Nak?" Deka menagih jawaban. Kali ini nada bicaranya dipenuhi tekanan. "Sajaka, jawab."

Anehnya Sajaka tetap bergeming. Deka sudah menggoyangkan bahu putranya dengan kasar. Sajaka seperti kehilangan jiwa. Hanya matanya saja yang berkedip. Sejauh itu tatapan Sajaka kosong.

"Sajaka, lihat Papa. Hei, Sajaka!" Deka menangkup wajah putra bungsunya. Memaksakan agar mereka bersitatap. Setidaknya supaya Deka bisa menebak-nebak apa yang sudah terjadi. "Ada apa, Sajaka? Bilang ada apa?"

Tuntutan jawaban Deka tak bersambut. Sajaka melengos pergi menaiki tangga menuju lantai dua. Dari langkahnya yang lunglai dan tatapan datar itu, Sajaka seperti habis mengalami kejadian yang membuatnya hampir kehilangan nyawa.

Di lantai satu, Deka hanya bisa menatap kepergian Sajaka. Ia sangat ingin memaksa Sajaka agar bicara, tetapi melihat kondisinya begitu mengkhawatirkan, Deka jadi ragu. Maka Deka putuskan membiarkan Sajaka untuk malam ini. Ia akan melihat keadaan besok bagaimana. Jika masih sama, sudah kewajiban Deka mengetahui akar permasalahan Sajaka.

Setelah Sajaka hilang di titian tanggga terakhir, Deka mengusap wajahnya kasar. Ia kembali ke kamar tanpa mengatakan apa-apa pada Selin.

***

Dalam temaram, sepasang mata yang bulat berkedip-kedip lucu. Ia kesulitan tidur malam itu. Kantuk tidak kunjung datang, sebagai gantinya dalam benaknya diganggu oleh secuil ingatan kejadian tadi pagi.

Sungguh ia sangat penasaran kemana perginya Sajaka sampai tidak masuk sekolah sehari penuh. Semua orang terkejut mengetahui Sajaka tidak masuk tanpa keterangan.

Makin malam benak kusut dalam kepala Sadina semakin semerawut. Telah ia coba berbagai posisi berbaring, tetap saja tidak membuatnya mengantuk. Itu berlangsung cukup lama sampai lehernya pegal. Mungkin Sadina hampir memasuki lubang hisap menuju alam bawah sadar ketika terdengar ketukan di pintu. Ketukan itu semakin nyata dan terdengar jelas. Bola mata bulat itu kembali terbuka terang.

Sadina menghela napas. Entah siapa yang mengetuk pintu kamarnya di jam segini. Kalau saja ia bukan sedang tinggal di rumah orang lain akan Sadina abaikan ketukan itu. Barusan hampir saja ia berhasil tertidur.

Begitu pintu dibuka, cowo jangkung berdiri di hadapannya. Raut wajahnya sulit dijelaskan karena sangat datar.

"Sajaka?"

Ini dia pelaku yang membuat Sadina kesulitan tidur. Dari mana saja dia? Kenapa baru pulang hampir tengah malam masih mengenakan seragam sekolah?

"Sajaka, kamu--"

"Kita perlu bicara hal penting." Suara bernada rendah itu memotong perkataan Sadina. Aura Sajaka terasa lebih kelam dari langit malam. Begitu mencekam dan memaksa lawan bicara diam mendengarkan. Di tempatnya, Sadina sampai hilang kata. Ia hanya berani menelan salivanya kasar, tanpa mengalihkan perhatian dari manik gelap di hadapannya. Walau karena perbedaan tinggi mereka, ia harus menahan diri agar terus mendongak.

"Jujur, lambang di kotak hadiah yang kamu kirim ke teman online itu adalah lambang sebuah web yang kami temukan di ponsel Slavina, kan?"

"Slavina?"

Sajaka menjawab cepat. "Anak kelas 11 yang mengakhiri hidupnya di toilet gedung D. Link web itu tanpa segaja tersebar ke seluruh grup kelas di Deltaepsilon. Setelah diberi peringatan masih ada beberapa orang yang mengakses web itu diam-diam. Kamu juga, Sadina?"

"A-aku--"

"Kami sudah menemukan data siapa saja anak Deltaepsilon yang masuk ke web itu. Nama kamu ada di sana, Sadina. Kenapa?" Sajaka kembali mengambil giliran Sadina bicara. "Apa yang kamu lakukan di sana? Padahal jelas-jelas tempat itu berbahaya. Tempat itu membawa pengaruh buruk."

"Sajaka cukup." Sadina mengangkat tangan agar Sajaka berhenti memberi tuduhan tanpa tahu yang sebenarnya. "Tempat yang kamu sebut berbahaya itu udah memberikan akan teman-teman yang baik. Yang mau menerima aku, isi pikiran aku, apa adanya diri aku. Mereka nggak sejahat dalam pikiran kamu, Sajaka--"

"Kamu belum tahu apa-apa, Sadina. Kamu baru mengenal sebagian kepribadian mereka saja. Gimana bisa kamu lebih percaya teman online daripada orang yang jelas-jelas kamu temui setiap hari?"

"Memangnya ada satu aja di antara orang-orang yang aku temui mau jadi teman aku? Ada?"

Sesingkat sebuah kalimat balasan yang berhasil membungkam Sajaka.

Detik selanjutnya kekehan pedih terdengar. Sajaka menggeleng tak percaya. "Kalian benar-benar mirip."

Perkataan ambigu itu cukup membuat kening Sadina mengernyit.

"Renada, mendiang kakak perempuan aku. Di kamarnya juga ada gambar yang mirip lambang yang kamu tempel di kotak itu. Kalian sama-sama masuk dalam web itu, dan kalian sama-sama keras kepala."

Sajaka mengusap wajahnya kasar. Dalam keadaan kacau begini ia harus tetap sadar. Maka dari itu Sajaka pergi membawa kekecewaannya dari sana. Pintu kamar sebelah tertutup rapat. Sajaka telah meninggalkan Sadina dalam keadaan mematung di tempat. Ia baru mengetahui bahwa Sajaka mempunyai kakak perempuan dan sudah berpulang.

==Fake Protagonist==

[Tinggal dikit lagi tamat kok
Hehe ]

Fake ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang