Di bawah dersik halus dedaunan kakinya berpijak, di atas bumi mengukir kurva manis pada wajahnya. Buai angin tak luput dari helaian surainya.Langit biru cerah menggantung di atasnya, senantiasa mendukung kecerahan suasana hatinya. Terluput dari senandung raganya.
Namun eksistensesi rupa warnanya pudar, berjongkok menunggu di tengah langit yang menggelapkan warnanya. Detik berlalu yang tak terhitung hingga berganti menjadi gelap.
Di situ dia masih berjongkok, dengan bodoh menunggu sang pujaan hati dengan janjinya. Tali ransel digenggam kuat, rasa kesal yang tak terlepas.
Derapan langkah tak lama terdengar, dengan napas samar tak beratur dari seseorang yang berhenti di depannya.
"Ya ampun, harusnya kamu pulang." Sang pelaku memamerkan raut khawatirnya, menatap sang gadis yang berkerut kesal. Lengannya bergerak mengangkat tubuh yang sedari tadi berjongkok.
"Harusnya kalau tidak bisa itu bilang dari awal." Ia berdiri, mensejajarkan tubuhnya dengan pemilik surai gelap si pelaku yang membuat ia menunggu lama.
Tentu kesal, padahal ia sudah antusias menunggu hari ini. Harusnya [Full Name] mendapati senyum merekah di wajahnya saat ini kendati sekarang berbanding terbalik.
"Kuroo?"
Yang dipanggil memasang wajah tak enak, menyalahkan dirinya dalam hal ini. Ia lupa terlibat janji besar pada gadis di depannya, mengingat wajah berbinarnya saat itu membuat rasa bersalah semakin menggerogotinya.
"Maaf, Hanna tadi tiba-tiba pingsan. Jadi aku harus mengantarnya dulu, maaf tidak mengabari." Sang jejaka merentet susunan kata, memperjelas kata maafnya.
Dalam sepersekian detik raut wajah [Name] berubah, menatap khawatir pada Kuroo. Bergantian kini rasa bersalah menggerogotinya, bagaimana ia bisa egois dalam hal ini.
"Maaf... Hanna tidak apa-apa kan?" Mendapat respon seperti itu kendati Kuroo menghela napasnya lega. Tidak, mengantar Hanna pulang bukanlah alasan karena memang itu yang ia lakukan, rasa khawatir pada sang sahabat kecil terlalu tinggi hingga melupakan janji yang ia katakan.
"Tidak apa-apa, sebagai gantinya biar aku antar pulang." Dengan baiknya Kuroo Tetsurou melepaskan jaket yang ia kenakan, melampirkannya pada sang pujaan, tahu menahu tentang seberapa dingin terpaan angin pada tubuh [Name].
﹉﹉﹉﹉﹉﹉
Dalam diam Kuroo mengekor, menatap sang gadis yang berjalan tenang. Walau sudah dimaafkan tak menghilangkan rasa bersalahnya.
Sorot lampu jalan bergantian menjatuhi mereka, Kuroo merotasi netranya ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa mengganti rasa bersalahnya.
Mereka diam, canggung sekedar bertukar kata mengisi perjalanan malam.
Jemari dalam sakunya bergerak mendapati potongan kertas di sana. Kini tiket taman hiburan ini tak berarti lagi akibat kebodohan Kuroo, [Name] mengulum bibirnya menahan segala perasaan kecewa yang siap membuncah.
Bibir digigit, Kuroo tak tahu seberapa kesal [Name] padanya.
Terdengar labil memang, memaafkan lalu kembali merasa kesal.
"[Name]?" Mulutnya terbuka sekedar mengucap nama, meminta dijatuhi atensi netra binar gadisnya.
"Ah, iya?" Wajah [Name] tampak bodoh, menatap linglung Kuroo.
"Pfft- lampunya sudah hijau." Genggaman di jemarinya terasa hangat, dengan naungan kekeh kecil Kuroo. Suasananya menghangat tak kala hatinya menjerit kecewa.
Senyum tipis terlihat pada wajah [Name] menerima uluran manis benda dingin bernama es krim, sang jejaka bersurai gelap menatapnya ikut tersenyum merasa dapat menebus sedikit kesalahan yang ia lakukan.
Maniknya tak meluput barang dalam persekian detik, terus memandang binar wajah berhias ekspresi senang.
Tangan besarnya mengacak gemas untaian surai [Name] dibalasi dengusan tak suka, suara tawa ringan mengalun dari bibirnya, mengatup tawa hangat melupakan apa yang terjadi sebelumnya.
Lalu-lalang banyak orang tak mengusik diam mereka, satu sama lain saling menikmati waktu tanpa percakapan. Terkadang samar terdengar suara bising serangga, gemerisik angin pun sesekali menemani mengajak terbang surai keduanya.
"Bagaimana menurutmu?" Refleksi cahaya pada matanya hal pertama yang [Name] lihat sesaat setelah ia berbalik menatap sang kekasih yang mengeluarkan hantaran kata.
"Es krimnya?" Kendati wajahnya memiring, menampilkan ekspresi bingung. Tangannya kosong, es krimnya telah habis beberapa waktu lalu.
Tawa renyah lagi-lagi dikeluarkan oleh Kuroo, jemarinya sekali lagi mengacak gemas surai [Name].
"Tidak jadi." Rautnya tenang, kembali menghadap depan meski maniknya tersembunyi di balik lembayung kelopak mata.
Sedangkan [Name] masih menatap diam Kuroo, kendati wajahnya menampilkan binar kagum. Ekspansif Kuroo Tetsurou itu luar biasa, dari banyak puluhan ribu manusia ia mampu memanipulasi rotasi netra pandangan, meraup semua padanya. Dia dijatuhi cahaya.
Berbeda dengan [Name], jauh berbeda.
Diam-diam meringis, [Name] kembali menegakkan tubuhnya. Menepuk kasar pipinya, jemarinya langsung disambar Kuroo kendati wajahnya menatap khawatir pada pipi yang memerah akibat bubuhan telapak tangan.
Jemari Kuroo menjalar, mengusap jejak kemerahan itu.
[Name] mengigit bibirnya, perasaannya terasa mengaduk seluruh organnya menimbulkan gejolak tak nyaman.
"P-pulang." Kuroo mengernyit agak tak paham, lalu mengangguk.
Tak bersebelahan, [Name] memilih mendahului Kuroo sedangkan Kuroo mengekor dalam diam.
Masih tak mengerti akan hal yang terjadi.
Jangan lupa meninggalkan jejak~
KAMU SEDANG MEMBACA
CIGARETTE
Hayran Kurgu» kuroo tetsurou 𝐂𝐈𝐆𝐀𝐑𝐄𝐓𝐓𝐄 ↳ ❝ belum merela untuk melepas. ❞ 'もっと愛して ┊ love me more' ࿔° ━━━━━━━━━━━━━━━━ © furudate haruichi © machaluvx '050621