Part 14

10.3K 2K 115
                                    

Waktu bergerak lambat bak siput yang tersesat. Empat hari terkungkung di kamarnya, seolah telah sewindu Kirania menanti izin dari sang suami agar dapat bekerja kembali.

Ini membosankan.

Membosankan dalam artian sebenarnya.

Hanya makan tidur, mengulang pola yang sama selama empat hari membuat Kirania seolah hidup di dalam bui. Tak ada jeruji yang menghalangi dirinya keluar, memang. Namun ada sang ibu yang siap menjadi informan untuk Zahir yang akan segera menghubunginya jika berbuat hal yang tak diperbolehkan pria itu.

Seperti turun untuk membeli minuman dingin, memasak karena masakan sang ibu sungguh jauh dari kata layak makan, mencuci baju yang biasanya mereka serahkan pada pihak binatu, dan membersihkan rumah yang sudah dibersihkan oleh Arun dan sang ibu.

Sebenarnya Kirania bukan penyandang disabilitas, kan? Dia hanya sedang hamil!

"Aku hamil, ma. Masih ada kaki dan tangan untuk kerja ini itu." Gaungan protes untuk ke sekian kali dilemparkan pada Heni yang hanya tersenyum-senyum senang.

Akhirnya setelah sekian purnama menanti, baru kali ini ia lihat sang putri dapat menurut dengan titah sang menantu. Biasanya ada saja alasan Kirania untuk menyanggah perintah Zahir yang selalu tak bisa membantah ingin sang istri.

"Kata dokter kamu harus istirahat di ranjang ... apa sih itu namanya? Bedrest, ya? Minimal selama satu minggu!" Sambil mengupas apel, Heni lantas melirik tajam sang putri. "Kamu jangan ngeyel, ya! Kalau ada apa-apa sama cucu mama, kamu yang mama potong-potong," ancam wanita paruh baya itu sambil memotong apel dengan raut serius, seolah yang tengah ia mutilasi adalah sikap keras kepala sang putri.

Mendengkus jengah, Kirania menurunkan kaki dari ranjang, menolak apel yang sang ibu sodorkan, wanita itu berdiri dan baru membuat satu langkah, Heni kembali bersuara.

"Mau kemana?!"

Kirania menatap ibunya kesal. "Pipis juga ngga boleh?!" jawabnya sambil menghentak kaki dengan kesal namun tindakannya itu kembali mendapat teguran dari sang ibu yang jelas sudah mendapatkan cucu dari anak yang lain, namun masih saja kurang hingga terus menuntut dari Kiran.

"Kamu mau nyakitin cucu mama, ya? Jangan loncat-loncat gitu!"

"Lon—" Kirania memotong ucapannya sendiri sambil terpejam erat. Sungguh ucapan sang ibu begitu berlebihan. "Aku ngga loncat. Ahh!" Ia kibaskan tangan. "Serahlah." Lantas bergerak ke kamar mandi, menunaikan hajatnya dan saat keluar yang ia dapati adalah sang suami tengah melepas kemeja. "Kamu udah pulang?" Bersama napas leganya, Kirania bertanya.

Daripada dijaga oleh sang ibu, jauh lebih baik Zahir yang ada di sini menemaninya. Karena meski kini terasa sulit, Zahir akan menuruti pinta Kirania yang bisa dipenuhi.

Asalkan bukan bekerja, atau keluar berjalan-jalan lebih dahulu.

Kirania memang harus beristirahat total karena sempat mengalami pendarahan ringan sehari setelah keluar dari rumah sakit. Ia dirawat kembali selama tiga hari, dan kini ia sudah berada di apartemennya lagi, namun Zahir yang tak bisa terus meminta libur akhirnya meminta ibu mertua yang dengan senang hati menjaga Kirania.

"Kata mama kamu loncat-loncat?"

Kirania langsung memutar bola matanya dengan raut malas kala mendengar tanya sang suami. "Kamu percaya?"

Tersenyum, Zahir memberi gelengan pelan.

Terkadang ibu mertuanya itu memang suka berlebihan.

Duduk di sisi ranjang, Zahir menepuk ruang kosong di sampingnya, isyarat agar sang istri duduk di sana.

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang