Part 1

18.4K 2.4K 158
                                    

Tak ada yang berubah setiap harinya. Suara alarm yang senantiasa menjadi pengingat agar dirinya lekas bangkit dari mimpi dan beranjak turun dari ranjang menuju tirai jendela yang harus segera ia sibak lebar, agar cahaya dari sang mentari yang mulai mengintip dari ufuk timur menembus melewati beningnya kaca jendela berwarna putih bening yang membentang hampir selebar dinding kamar apartemen miliknya.

Lenguh dari arah belakang, lamat-lamat menyusup ke indra pendengaran. Dan ketika menoleh, ia dapati pria itu bergerak gelisah, dengan tangan yang mencoba menggapai sesuatu. Dalam keadaan masih terpejam, senyum tipis membentuk samar, kala jemari menemukan selimut di samping tubuh lantas tanpa menunda ia gunakan kain tebal berbulu halus dengan warna abu itu untuk menutui wajah.

Diam, masih menatap tanpa ekspresi berarti pada pria yang sudah tiga tahun ini berbagi ranjang dengannya, wanita itu mengerjap lambat sebelum berbalik dan bergerak menuju pintu untuk memberikan udara pagi celah memasuki ruang yang selalu berhasil membuang penat setelah seharian tenaga habis untuk mengais rejeki.

Menghirup hikmat pada suasana indah yang selalu menyapa paginya, senyum lebar terukir ketika belaian angin menyentuh rambutnya yang tergerai hingga di bawah bahu.

"Hem ... iya. Saya pergi ke kantor hari ini."

Berbalik saat mendengar suara bariton yang agak sumbang dari arah belakang, wanita itu bergerak mendekat pada pria yang tampaknya terpaksa bangun karena sebuah panggilan yang tampaknya dari tempat kerja pria itu.

"Aku nggak jadi libur. Ke tempat ibu besok aja, ya?" pria itu, Zahir Arundapati, menyugar rambut yang sedikit panjang miliknya, sambil berbicara pada wanita yang memberinya sinar mentari pagi di saat ia berencana untuk tidur sampai siang sebelum pergi ke rumah mertua tanpa gangguan apapun. Ah tapi, orang kantor malah memanggilnya untuk masuk hari ini dan terpaksa ia urung cuti.

Melipat selimut, wanita itu, Kirania Pramesti, yang selalu suka dengan aroma segar di udara pagi, dan membenci aroma petrichor yang seringkali membuatnya mual, mengangguk singkat pada ucapan pria yang lebih dari tiga tahun lalu menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qobul. Janji suci seorang pria yang mengambil seorang anak gadis untuk dijadikan belahan jiwa, dan akan hidup bersama dalam suka maupun duka. "Kamu pilek?"

Kirania bertanya dan sang suami yang ia panggil dengan sebutan Arun itu mengangguk singkat. "Kemaren pulang kehujanan." Turun dari ranjang, pria itu bergerak menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu."

Berdeham saja, Kirania melanjutkan kegiatannya memberesi kamar, lalu mengeluarkan pakaian kotor yang sore nanti akan Arun antar ke binatu langganan pria itu yang memang hasil cuciannya selalu lebih bersih dan wangi.

Keluar kamar, menyiapkan sarapan untuk sang suami, Kirania lantas kembali ke kamar saat Arun keluar dengan kemeja dan celana panjang, rapi dengan sebuah dasi yang sudah terpasang.

Sementara Arun sarapan seorang diri, Kirania mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja ke cafe miliknya yang dibangun bersama dua sahabatnya Lovita dan Cendana.

Keluar dari kamar dengan rambutnya yang masih basah tergerai, turut membasahi blouse berwarna army yang dikenakan, Kirania menenteng hils hitam yang baru ia beli kemarin, dari kamar ke pintu utama.

Arun yang melihat istrinya sudah siap pergi dengan rambut basah tersisir rapi, tanpa pernah Kirania keringkan dengan hairdryer, langsung mengernyit. "Kamu kerja?" Berdiri dari meja makan, ia dekati Kiran dan mengambil pantofel hitamnya dari rak sepatu yang berada di samping pintu.

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang