Part 6

10.5K 1.8K 104
                                    

Entah apa yang wanita itu lakukan. Tampak mengetik pesan sambil tersenyum geli, dan sesekali mendengkus samar sebelum disusul tawa kecil yang menggelitik rasa penasaran pria di sampingnya.

Mencoba untuk tak ambil peduli, tapi ekspresi ceria yang terpatri di wajah sang istri tak henti membuat ia bertanya, apa yang membuat Kirania bisa selepas itu menciptakan senyum. Mengapa yang indah seperti itu tak pernah terbit untuknya?

Terus mengabaikan rasa penasaran dengan fokus menyetir, suara wanita di sampingnya membuat ia melirik sekilas. "Nanti sampai di rumah Petra kamu langsung ke kantor aja nggak apa-apa. Daripada kamu telat nanti."

"Memangnya lama?" Mengamati mendung yang menggantung di atas langit, Zahir memutar setir sebelum menoleh pada istrinya.

Kirania tampak mengedikan bahu tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponsel. "Ngga mungkin aku ambil mobil gitu aja tanpa ngobrol sebentar." Lalu ia tatap suaminya dengan sebuah senyuman yang tak sama dengan senyuman yang Kirania beri saat fokus pada benda pipih di tangannya.

Kirania bahagia karena apa? Membaca sebuah cerita kah? Atau sedang berkomunikasi dengan sahabat wanita itu?

"Jadi kamu duluan aja."

Sudah tak menatap istrinya dan hanya mengangguk saja. Zahir kemudian diam tanpa memberikan pertanyaan lagi seputar ... Mengapa ia harus meninggalkan istrinya dengan pria lain, atau ... Siapa yang Kirania hubungi sekarang.

Mendesah pelan, mencoba untuk menyembunyikan seluruh rasa penasaran. Zahir kemudian menghentikan kereta besinya di depan sebuah bangunan ruko tiga lantai, tempat yang Kirania tunjuk sebagai tempat tinggal teman wanita itu.

"Itu Petra. Aku turun dulu kalau gitu."

Dengan senyum merekah, menunjuk ke arah pria yang sudah berdiri di depan mobil milik Kiran di halaman ruko, Kirania segera membuka pintu untuk turun sebelum kaki yang sudah ia turunkan kembali naik kala tangannya ditarik oleh sesuatu.

Tangan sang suami yang menatapnya dalam. "Aku ikut." Oh ... Sialan! Zahir menekan rasa kesal pada diri sendiri karena tak mampu memberikan kepercayaan pada istrinya kali ini, meski ia yakin Kiran sungguh-sungguh menganggap Petra hanya sebagai teman. Namun pria dengan alis menyatu itu apakah hanya sekadar menganggap Kiran teman? Tampaknya tidak. Zahir tahu tatapan seorang pria yang ingin memiliki seorang wanita.

"Ngga apa-apa kalau telat?"

Zahir menggeleng tegas. "Aku harus bilang terima kasih."

"Oh ... Oke." Sesungguhnya tidak oke. Kirania berdeham sebelum turun bersama Zahir.

Suaminya tampak berbeda kali ini. Tapi kenapa? Tak biasanya Zahir ingin ikut berbincang sesaat dengan kenalannya.

Melangkah bersama menghampiri Petra yang segera melambai. Pria itu memberi jabat tangan pada Zahir kala pasangan suami istri itu mendekat. "Apa kabar, bro?"

Zahir mengangguk. "Baik. Gimana mobilnya?"

Petra pria dengan kulit sawo matang itu menepuk pelan kap mobil di belakangnya. "Sudah beres." Lalu ia lirik Kirania dan memainkan sebelah mata. "Bayarannya bos. Spesial."

Kirania mendengkus bersama senyum gelinya. "Iya. Nanti transfer, ya?" Memberi tawa rendahnya, wanita itu lantas melirik Zahir yang hanya diam.

Sesaat hening tercipta karena Kirania maupun Petra tampak tak begitu leluasa, seakan mereka terus diawasi sepasang mata milik Zahir. Namun memecah kecanggungan, Petra menepuk tangannya sekali. "Masuk dulu? Ngopi atau teh?"

Zahir menolak. "Harus kerja." Lalu ia tatap istrinya. "Ayo," ajaknya membuat Kirania meringis tak enak hati pada Petra yang ia janjikan sarapan pagi bersama.

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang