Part 9

9.4K 1.8K 44
                                    

Dari meja kerjanya, Cenda hanya memperhatikan sahabat baik yang sudah dua hari ini tampak tak sesemangat biasanya. Seakan ada yang sedang sang sahabat pikirkan, Kirania lebih banyak melamun. Sesekali jika memergoki secara tak sengaja, ia akan dapati Kiran menangis.

Air mata segera diusap, dan untuk memanipulasi kesedihan itu, Kirania akan tersenyum ketika Cenda bertanya mengapa ia menangis.

Ah ... Ini tak seperti Kirania yang Cenda kenal. Memiliki masalah, namun menutupinya rapat-rapat.

Angkat tangan dengan kondisi sang sahabat, Cenda akhirnya memberitahukan kondisi memprihatinkan Kirania pada Lovita. Sekarang dia hanya menunggu sahabatnya itu untuk bertanya masalah apa yang sedang Kirania pikirkan.

Lovita : katanya nanti mau ke rumah gue. Kayaknya mau cerita langsung aja. Lo mau ikut?

Cenda mendapatkan pesan dari Lovita sahabatnya.

Pesan yang mengarah pada Kirania itu membuat Cenda melirik ke arah Kiran yang baru saja meletakkan ponsel ke atas meja, lantas kembali membuat catatan di buku laporan.

Menggeleng pelan, Cenda langsung menjawab pesan Lovita.

Cendana : dia kayaknya mau ngobrol sama lo aja deh. Gue ngga ikut lah. Nanti gue malah ganggu lagi.

Lovita : ga usah mikir aneh2 deh. Kiran ga keberatan juga kalau Lo ikut. Gue bilang ya buat ngajakin lo?

Cendana : heh. Gue ga ada mikir apa2. Cuma lo kan tau. Untuk hal serius gue ga bisa kasih saran yang bener. Gue ama dia jago debat doang. Wkwkwk. Udahlah. Abis inj lo cerita aja ama gue.

Lovita : lo marah?

Cendana : no! Demi kenyamanan sahabat gue. Gue rela ngasih dia ruang tanpa gue.

Lovita : Serius?

Ah ... Cendana memaksakan sevuah senyum.

Sesungguhnya ada rasa kecewa karena Kirania tak ingin terbuka padanya kali ini. Namun ... Ia tak bisa memaksakan Kirania yang belum bisa mengutarakan masalah wanita itu padanya, kan?

Cendana : lagian gue mau nonton ama lakik gue malam ini.

Langsung menutup ruang obrolan, Cenda berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Kirania. "Laper, cuy. Makan, yok?"

Mengangkat kepala, menatap Cenda dengan ringisan tipis, Kirania menggeleng. "Kayaknya alam bawah sadar lemak-lemak gue mulai mempengaruhi nafsu makan gue, deh. Rasanya liat makanan tuh males aja gitu. Pada akhirnya gue diet tanpa harus nunggu Senin, Cen."

"Bahasa lo berat amat, nyet. Ya udah, gue makan duluan."

Kirania mengangguk singkat. "Eh, nanti gue mau ke rumah ebeb Vita. Ikut, ngga?"

Tangan memegang handle pintu, Cenda menoleh dengan senyum semringah. Tak percaya Kirania akan mengajak dirinya. "Ngga deh. Ada janji ama lakik." Tapi malam ini dia benar-benar akan berkencan dengan suaminya.

"Ya udah. Jangan nyesel kalau ngga dapet bahan ghibah."

"Oh tenang. Gue masih punya server lain. Bye, beb." Segera keluar, Cenda meninggalkan Kirania yang kembali bermuram durja.

Rasanya dunia terasa begitu memusuhinya semenjak tanpa angin tanpa hujan, Zahir mendiamkan dirinya. Dia salah apa?

*

Tak begitu nyaman bercerita dengan Cendana, bukan karena wanita itu tak dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia. Tapi obrolan perihal dirinya dan Zahir, Kirania tak pernah ingin membahasnya dengan Cendana.

Bumbu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang