01: Ah, Pemandangan Nostalgia Itu

634 112 9
                                    

Akhir Musim Panas pun berlalu tanpa di sadari, entah mengapa pagi itu aku mengingat tentang kereta yang berguncang di saat fajar.

Mengingat bagaimana luasnya tempat kita bermain, aroma debu yang pekat, juga senyum kekanakan yang terbit ketika senja bergulir menjadi temaramnya malam.

Ah, pemandangan nostalgia itu.

---

Jendela itu terbuka dengan mudah, Kuchel tidak membutuhkan banyak tenaga untuk bisa membukanya.

"Jangan keluarkan tanganmu ketika keretanya lewat, mengerti?"

Kota kecil di bawah rel kereta uap. Apa kalian percaya tentang pemandangan ini? Setiap pagi ketika fajar mulai menampakkan diri, rumah lapuk yang berjejer di sepanjang lintasan kereta akan menampilkan banyak anak di balik jendela yang terbuka.

Klakson kereta yang berdengung, juga tanah yang berguncang membuat lantai rumah ikut berdansa karenanya. Tawa anak-anak muncul ke permukaan.

"Woah! Levi, hari ini mereka mengangkut apa ya kira-kira!?" teriakan cempreng itu terdengar samar diantara bisingnya suara kereta yang melintas secepat kilat.

Bocah laki-laki dengan surai yang nyaris menutupi wajahnya berbalik ke sebelah kanan, "Mana aku tau!" ia menjawab dengan suara yang terendam bisingnya decit roda kereta, hanya bisa berharap gadis yang tadi bertanya mendengar suaranya.

"Kamu memang payah!"

"Apa!? Kamu bilang apa? Aku tak bisa mendengarmu!"

"Apa, sih! Sudah tahu keretanya ribut!"

"Tch, Kacamata busuk."

Keduanya lalu larut dalam kegiatan sebelumnya, melupakan rasa kesal masing-masing dan tersenyum riang melihat deret ban kereta yang melaju. Walaupun hanya bisa melihat bannya saja, senyum mereka terukir tulus. Seolah melihat sesuatu yang paling indah di dunia.

Dan ketika fajar mulai menyinari seluruh permukaan, jendela rumah kembali tertutup. Menyisakan suara bising dari beberapa anak yang bersiap-siap untuk menimbah ilmu.

"Ibu, aku tidak mau berangkat dengan Hange hari ini." ujar Levi, mata kelabu itu memperhatikan bagaimana tangan Ibunya begitu teliti mengikatkan tali sepatu untuknya.

"Loh? Kenapa? Apa dia mengganggumu?" tanya Kuchel

Levi menggeleng, "Tidak. Hanya saja, dia selalu mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti."

Setelah itu, Levi berlari keluar rumah. Menyapa beberapa anak seumurannya yang juga hendak berangkat ke sekolah. Ia sengaja mempercepat langkah, mencoba menghindari gadis berlensa kotak yang kini mulai keluar dari rumahnya.

Tapi, Dewi Fortune sepertinya tidak berpihak pada Levi sekali lagi. Ia harus menghentikan langkahnya ketika merasakan sebuah tarikan dari tasnya.

Ia berbalik, menemukan sosok gadis berkacamata yang tersenyum lebar. Rambut coklatnya yang berantakan tersapu oleh angin.

"Kamu mau kabur dariku?"

"Tidak."

"Lalu, kenapa tidak menungguku?"

"Kamu yang lama."

Levi menepis kasar lengan kecil itu, kemudian berbalik memunggungi dan berjalan. Ia tidak komplain lagi dengan gadis yang kini mengekorinya, Hange Zoe.

"Levi, temani aku mencari kodok sepulang sekolah." celutuk Hanji.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Tidak mau. Itu jorok."

"Mereka menggemaskan!"

Levi menggerling malas, menatap Hange dengan wajah kesal sebelum mendorong pelan gadis itu untuk menjaga jarak darinya.

"Mata mu itu buram. Cuma kamu yang melihat serangga itu menggemaskan."

"Mereka reptil, bodoh!"

"Sejenis dengan mu?"

"Ish, jadi mau temani aku atau tidak?"

"Cuma menemani. Aku tidak ingin ikut kotor denganmu."

Kedua tangannya bertepuk riang, ia menatap Levi yang enggan menatap balik. Bocah lelaki itu mencoba mengabaikan entitas dan ocehan gadis kecil di sampingnya.

"Oke!"

Levi tersentak ketika Hange tiba-tiba memukul pundaknya sembari berkata demikian. Levi heran, dari mana kekuatan besar itu berasal? Pundaknya sampai cenat cenut.

Gadis itu hanya menampilkan senyum manis seperti biasa, kemudian berjalan dengan sedikit berlari meninggalkan Levi. Lalu, seperti biasa ia akan berbalik sebelum mencapai gerbang sekolah.

"Levi!"

"Eh?"

"Kalau sore ini dapatnya kodok jantan, aku akan memberikan nama mu padanya!"

"Hah!?"

---

Banyak yang berubah sejak terakhir kali aku tinggal di kota kecil ini. Hanya lintasan rel kereta tua itu saja juga lapangan luas tempat kita bermain yang tersisa.

Langkahku terhenti di hadapan kantor pos. Melihat dengan seksama, seolah membayangkan bangunan lapuk tempat kita belajar bersama dahulu kala.

Ah, pemandangan nostalgia itu.

Haiiro to Ao [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang